Jakarta, Aktual.com — Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Surono meminta analisis mengenai dampak lingkungan kereta cepat Jakarta-Bandung perlu dikaji kembali mengingat trasenya melintasi patahan Cimandiri yang berpotensi gempa.
Surono usai diskusi yang bertajuk “Menyoroti Kebijakan Kereta Cepat Jakarta-Bandung” di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (5/2), mengatakan pada patahan tersebut gempa kemungkinan terjadi dalam periode 100 tahun.
“Kita harus memperhitungkan risikonya, karena kemungkinan terjadi gempa pada periode 100 tahun,” katanya.
Dia mengatakan bukan hanya gempa bumi tetapi wilayah Bandung Barata tersebut rawan longsor dan bencana lainnya.
“Jadi ini tidak bisa ditawar,” katanya.
Perwakilan Wahana Lingkungan Hidup M Nasrul menuturkan trase tersebut juga melintasi hektaran sawah dan hutan produksi, sehingga amdal perlu dikaji kembali.
“Amdal ini harus mempertimbangkan kelangsungan sumber daya, terutama padi dan alih fungsi lahan, pembangunan kereta cepat ini mengancam ketersediaan air di beberapa kota,” katanya.
Terkait adanya kawasan terpadu atau “transit oriented development” (TOD), menurut dia, tidak akan terlalu berkontribusi pada masyarakat sekitar.
“Kawasan itu kan untuk kalangan menengah atas, sementara masyarakat di sekitar rata-rata menengah bawah dan mereka tidak perlu terburu-buru pergi dengan kereta cepat, yang seperti itu masyarakat kelas atas yang kesibukannya padat,” katanya.
Hal senada disampaikan Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menilai sesuai undang-undang seharusnya amdal dilakukan dalam jangka waktu minimal satu tahun.
“Perlu diulang amdalnya karena yang kemarin itu sangat singkat,” katanya.
Sementara itu, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Danang Parikesit menilai pemerintah perlu mengkaji kembali amdal sesuai dengan tujuan dibangunnya kereta cepat.
“Tujuannya apa, kalau ini semangat transformasi transportasi, seharusnya dilakukan ‘upgrading’ kecepatan atau trek dari 60 km per jam menjadi 250 km per jam, bukan berarti harus highspeed,” katanya.
Ia juga pesimistis bahwa proyek tersebut akan bertahan apabila tidak didukung pemerintah atau hanya business to business.
“Di negara lain belum ada ‘best practice’ proyek kereta cepat business to business,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Arbie Marwan