Oleh: Ichsanuddin Noorsy*
Pada Rabu, 5 September 2018 saya mengirim data perbandingan situasi ekonomi politik 1997/1998, 2008, 2011, dan 2018 ke hampir 150 wartawan dari berbagai media. Bersama dengan data itu terkirim pula grafik fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam basis data series 1964 hingga 5 September 2018.
Saya tidak menyimpulkan apapun atas data yang saya kirim. Berkaitan dengan data itu, saya melihat hal tersebut bukan merupakan variabel tunggal. Karena itu saya merujuk pendapat lembaga pemeringkat kredit sebelumnya yang meningkatkan peringkat kredit Indonesia ke posisi lebih baik.
Kajian mereka menyusul pujian buat Sri Mulyani yang dihargai sebagai Menteri Keuangan terbaik. Debat soal utang luar negeri pun merujuk pada posisi yang masih aman karena rasio utang terhadap produk domestik bruto 35,3% per Juni 2018. Lalu beredar kajian dari konsultan asing yang menikmati posisi renyahnya pasar Indonesia. Mereka menyatakan, pada 2050 Indonesia akan menjadi ke empat terbesar dunia. Melihat indeks persaingan pun, Indonesia membaik ke peringkat 36 dari peringkat 41.
Namun diakui Presiden Joko Widodo bahwa iklim perekonomian masih diliputi ketidakpastian. Pengakuan ini sama dengan pengakuan di era Soeharto pada 1990-an. Dalam menghadapai pasar bebas pun, Presiden Joko Widodo menyatakan, kita tidak perlu takut.
Dalam wawancara pagi harinya dengan radio Elshinta dan teve Trans7 saya merespon situasi itu dengan merujuk situasi eksternal, terutama posisi Ameriksa Serikat yang sedang gegap gempita melakukan proteksionis melalui perang dagangnya dengan mitranya sekalipun. Kebijakan Presiden AS Donald Trump ini pernah saya konfirmasi kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur BI Agus D Martowardoyo saat Seminar Sekolah Pimpinan Perwira Tinggi Kepolisian RI di Jakarta, 19 Oktober 2017. Kepada Menteri Keuangan yang hebat itu saya bertanya, bukankah kebijakan Make America Great Again itu adalah proteksionis dengan dampak deglobalisasi?
Pertanyaan ini sebenarnya mempunyai hubungan dengan krisis yang dihadapi AS pada 2008. Para wartawan yang menerima kiriman data saya pun bertanya tentang krisis 10 tahunan. Sebagian publik Indonesia memang menoleh bagaimana krisis 1998 karena kuatir krisis akan terjadi pada 2018. Sebenarnya data yang kirim sudah menjawab bahwa krisis seperti 1997/1998 tidak terjadi lagi. Tapi kenaikan harga-harga tidak bisa dihindari. Untuk melihat hal ini, kajian jalur krisis menjadi penting.
Dalam tesis akademik, jalur krisis terdiri atas jalur keuangan atau moneter dan jalur perdagangan. Pada krisis 1997/1998 Indonesia mengalami krisis karena jalur keuangan/moneter. Orang mengenalnya dengan krisis nilai tukar. Penyebabnya liberalisasi perbankan yang tidak terkendali dan buruknya pengawasan perbankan. Dua hal ini saya sebut sebagai moral hazard perbankan karena para bankir selanjutnya merampok bantuan likuiditas perbankan melalui kebijakan penjaminan. Akibatnya industri perbankan nasional nyaris ambruk yang dibuktikan lewat besarnya biaya pemulihan sebesar Rp670 triliun.
Krisis ini “disembuhkan” dengan menjual aset strategis nasional secara obral diikuti dengan liberalisasi berbagai sektor sehingga struktur perekonomian Indoensia makin didominasi swasta asing dan domestik. IMF sebagai “dokter” digugat ke tribun internasional. Kuatnya kritik terhadap IMF dan Mafia Berkeley sebagai penguasa bidang ekonomi sejak 1966 mendorong IMF mengakui bahwa resepnya salah dan minta maaf. Mafia Berkeley sendiri hingga sekarang tetap berkuasa. Sementar Thailand yang sama-sama “diserang” krisis nilai tukar, kini lebih berjaya.
Bagaimana dengan AS? Krisis di AS 2008 dipicu oleh dua hal, yakni harga minyak yang mencapai US$147 per barel dan defisit perdagangan AS terhadap RRC sebesar US$323 miliar. Defisit ini sudah berlangsung sejak GW Bush menjadi Presiden dan terus membesar hingga puncaknya adalah kekalahan perang dagang AS yang diindikasikan dengan besarnya defisit perdagangan itu. Akibatnya adalah perusahaan-perusahaan di AS merumahkan para karyawannya, bahkan mereka menutup usaha alias gulung tikar.
Efeknya menjalar ke industri keuangan AS, terutama ke Fanni Mae dan Freddy Mac sebagai lembaga keuangan yang memberi kredit rumah murah kepada para pekerja dan sebagai badan usaha keuangan yang menerbitkan surat utang. Surat berharga ini mengalami gagal bayar dan pemegang surat berharga inipun yakni Subprime Morgage (SPM) mengalami kesulitan keuangan.
Karena SPM juga menerbitkan surat utang, maka gagal bayarnya juga mengakibatkan efek berantai. Lalu dunia ramai-ramai menyebutnya sebagai Subprime Morgage Crisis. Artinya, pandangan masyarakat sedang dikaburkan dari keharusan pada fokus penyebab krisis ke akibatnya. Sebab utamanya adalah kekalahan perang dagang AS yang mengakibatkan defisit perdagangan. Setahun sebelum defisit itu memuncak, majalah The Economist pada Juni 2007 menyebutkan bahwa AS masih menjadi memimpin disebabkan kekuatan militer, belanja pertahanan yang mencapai 45,7% dari total anggaran, penguasaan industri dan harga minyak dunia, dan industri teknologi, informasi dan komunikasi (ICT). Pada 2018 belanja militer AS bahkan mencapai 50% dari total, atau sebesar US$4,1 triliun.
Obama dan Janet Yellen berupaya menyembuhkan melalui kebijakan keuangan dan moneter. Kendati Obama berteriak buy America, yang justru berdampak ke seluruh dunia adalah kebijakan uang murah, yakni The Fed membeli surat utang pemerintah dan swasta disertai suku bunga mendekati nol persen sehingga dolar AS membanjir ke seluruh dunia.
Resep Obama dan Janet Yellen dianggap tidak terlalu ampuh dan pembelian surat utangpun dihentikan. Maka Trump langsung ke akar masalahnya: atasi defisit perdagangan AS, terutama dengan RRC yang pada akhir 2017 mencapai US$376 miliar. Caranya, naikkan tarif impor pada komoditas tertentu dan kembali gunakan harga energi sebagai “senjata” karena AS sudah mampu menyediakan sendiri kebutuhan energinya. Untuk jangka pendek, krisis disebabkan defisit perdagangan “sembuh”.
Trump pun menolak kebijakan Chairman The Fed Jerome Powell, pengganti Yellen yang ingin menaikkan suku bunga hingga empat kali. Bagi Powell hal itu tergantung pada inflasi dan tingkat pengangguran AS. Jika suku bunga naik lagi, maka dolar AS akan pulang kampung dan dunia usaha di AS lebih bergairah sehingga menurunkan pengangguran.
Tapi ini pun tidak boleh melampui batas yang akan mengakibatkan inflasi naik. Dalam bahasa yang lain, nilai tukar bersaudara kembar dengan suku bunga. Naiknya suku bunga akan diikuti dengan menguatnya nilai tukar. Sedangkan suku bunga bersaudara kandung dengan inflasi. Meningkatnya inflasi akan diimbangi dengan kenaikan suku bunga. The Fed berpandangan, tingginya inflasi akan mengganggu daya beli sehingga menggangu purchasing manager index, yakni indikator kegiatan usaha yang berarti pula menggangu volume dan nilai transaksi perdagangan.
Uraian ini menunjukkan, AS mengalami krisis pada 2008 karena perdagangan yang berdampak pada keuangan atau moneter. Trump sebagai pebinis properti menyadari pentingnya mengatasi sebab akar krisis.
Dalam ilmu ekonomi, ini yang disebut dengan bauran kebijakan fiskal dan moneter. Dua hal ini berisfat kumulatif dan limitatif karena memang harus saling berkontribusi dan nyaris tidak boleh saling mengurangi. Jika yang terjadi saling mengurangi, yakni suku bunga tinggi dan belanja publik rendah, maka akan terjadi situasi tidak pasti seperti sekarang ini.
Di Indonesia, sebagaimana data yang saya distribusikan menunjukkan, inflasi rendah, suku bunga BI, walau lamban mengikuti melemahnya rupiah, defisit transaksi berjalan (perdagangan dan jasa) mencapai 3,04% dari PDB, cadangan devisa terus merosot dari 130 miliar dolar AS hingga ke 118 miliar.
Rasio utang luar negeri terhadap PDB merangkak naik, keseimbangan primer pada APBN tetap terjadi. Investasi portofolio yang dikuasai asing sebesar 40% terus merosot. Ini yang menunjukkan kita menuju jalur ganda krisis: perdagangan dan keuangan. Untungnya cadangan devisa masih cukup membiayai impor 6 bulan kedepan sehingga saya menyatakan, luluhnya rupiah bergerak antara Rp15.500-16.000 per US$1, tergantung pada kebijakan the Fed dan kebijakan tarif Trump. Karena memang fundamental makro kita yang rapuh, waktu yang akan menjawab.
Jakarta, 06 September 2018
*Penulis merupakan pengamat ekonomi politik
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan