Terlihat dari empat indikasi yakni perdagangan dunia yang melemah, rantai pasok direstrukturisasi demi keamanan, bukan lagi sekadar efisiensi, hutang publik di banyak negara berada pada titik tertinggi serta perlombaan teknologi bergerak lebih cepat daripada kemampuan regulasi yang terseok-seok mengikuti.

“Secara finansial, kerentanan baru muncul. Pertama, banyak aset berada di posisi rentan karena valuasi telah naik terlalu cepat dalam beberapa tahun terakhir sehingga sensitif terhadap kenaikan suku bunga, perlambatan ekonomi atau koreksi pasar global,” katanya.

Kedua, sistem perbankan di beberapa negara belum pulih sepenuhnya karena masih membawa tekanan dari kredit bermasalah, kerugian portofolio akibat suku bunga tinggi dan lemah kepercayaan pasar sehingga guncangan kecil pun dapat memperbesar risiko instabilitas keuangan.

Ketiga, era suku bunga lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama menjadi tekanan nyata bagi dunia usaha menjelang tahun 2026. James menyebut polarisasi meningkat secara sosial.

Tahun 2026 akan menjadi tahun pemilu di negara-negara kunci mulai dari pemilu sela di Amerika Serikat, pemilu umum di Brasil, pemilu nasional di Bangladesh hingga pemilu penting di beberapa negara Eropa yang semuanya dapat membawa dampak besar bagi pasar dan stabilitas global.

Jika disatukan semua, 2026 berpotensi menjadi tahun di mana banyak hal dapat berjalan salah arah seperti perlambatan ekonomi global lebih tajam, proteksionisme dan pembatasan ekspor meningkat hingga ketidakstabilan energi.

Kemudian konflik berkepanjangan dengan dampak ekonomi besar serta disrupsi teknologi yang melampaui kemampuan adaptasi. “Inilah realitas dunia yang sedang kita hadapi,” ucap dia.

Modal Besar

Namun, kata James, betapa unik dan kuat posisi Indonesia dibanding banyak negara lain. Kondisi ini yang sering dilupakan banyak orang. Pertama, transisi politik berjalan stabil.  Dunia luar melihat politik di Indonesia menunjukkan kesinambungan, kejelasan, dan prediktabilitas sesuatu yang semakin langka hari ini.

Kedua, fundamental makro tetap solid. Inflasi terkendali, disiplin fiskal terjaga, konsumsi domestik kuat, komposisi demografi yang didominasi usia produktif hingga nilai tukar relatif tangguh.

Ketiga, Indonesia sedang menjalani dekade infrastruktur terbesar dalam sejarah. Indonesia membangun pelabuhan, jalan, kawasan industri, energi, logistik hingga ibu kota baru. Semua meningkatkan daya saing negara secara nyata.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano