Jakarta, Aktual.com – Lembaga pemeringkat dunia, Fitch Rating belum lama ini telah meningkatkan Outlook Srovereign Credit Rating dari posisi stable menjadi positif. Kondisi itu disebut pemerintah telah mengkonfirmasi rating Indonesia menjadi Investment Grade (layak investasi) alias BBB.

Namun demikian, menurut ekonom dari Institute of Development for Economic and Ginance Bhima Yudhistira Adhinegara, apa yang dilakukan oleh Fitch itu hanya mengubah outlook dari stabil ke positif, sementara rating utangnya tidak berubah BBB.

“Artinya, dengan perubahan status itu tidak ada perubahan yang betul-betul signifikan,” ungkap Bhima di Jakarta, Minggu (25/12).

Menurut Bhima, Fitch sendiri memang mengapresiasi kondisi makro ekonomi Indonesia. Namun demikian, soal kredibilitas fiskal Fitch masih sama dengan tanggapan dari lembaga rating dunia lainnya, seperti Standard n Poor (S&P).

“Bahwa disebutkan oleh S&P sama juga oleh Fitch adalah pemerintah Indonesia masih sangat bermasalah dengan tumpukan utang luar negeri (ULN) dan rendahnya penerimaan dari sektor pajak.”

Dengan kondisi demikian, kata dia, berarti status investment grade yang disandang oleh pemerintah Indonesia sangat diragukan. “Makanya menurut Standard n Poor, sampai saat ini Indonesia belum masuk kriteria investment grade sama sekali.”

Untuk itu, kata dia, dalam melihat rating status investmen grade atau status layak investasi jangan hanya melihat dari satu lembaga pemeringkat.

“Mestinya dalam melihat rating utang Indonesia harus menyeluruh. Harus dilihat ke semua lembaga rating, baik itu Fitch, Standar n Poor, maupun Moody’s,” tandas dia.

Terkait dengan peringkat status ini, yang paling penting terkait pengelolaan ULN baik swasta maupun milik pemerintah. Hal ini pun selalu diingatkan oleh banyak pihak termasuk dari Bank Indonesia (BI).

Menurut Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, posisi ULN saat ini masih dianggap relatif aman. Namun dalam beberapa tahun sebelumnya, utang pemerintah nyaris tak terkontrol.

“Seperti yang terjadi pada saat periode tahun 2009-2014 lalu dimana ULN dari swasta sangat tinggi. Makanya, kita selalu ingatkan agar tetap hati-hati. Tapi kemudian kan berhasil dikendalikan dengan aturan BI terkait hedging (lindung nilai),” tandas Mirza.

Sejauh ini, kata Mirza, ULN swasta dan pemerintah memang masih di bawah 30 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar 28 persen.

Rasio ULN itu jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat (AS) masih kecil. Jepang ULN-nya 200 persen terhadap PDB, dan AS di atas 60 persen terhadap PDB.

“Kalau Indonesia, untuk utang pemerintah dalam negeri dan luar negeri jumlahnya tidak lebih dari 30 persen. Itu suatu angka yang relatif sehat. Tapi ke depan harus hati-hati,” pungkas Mirza.

Laporan: Busthomi

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu