Ilustrasi covid-19, corona. /pixabay

Jakarta, aktual.com – Salah satu wartawan surat kabar harian di Jakarta, Doni (bukan nama sebenarnya), sedang dalam kondisi batuk pilek yang disertai dengan sedikit sesak. Dia diketahui pernah melakukan kontak dengan Menteri Perhubungan Budi Karya yang dinyatakan positif COVID-19.

Dia mendatangi RSUD Pasar Ahad sebagai RS rujukan COVID-19 untuk melakukan pemeriksaan virus tersebut karena memiliki riwayat kontak dengan pasien positif. Namun, dia tidak mendapatkan hasil apa-apa selain hanya diwawancarai oleh petugas kesehatan.

“Sehabis wawancara langsung disuruh isolasi,” katanya tanpa dilakukan pemeriksaan kesehatan apapun.

Doni bukan satu-satunya, banyak orang lain yang merasakan sulitnya mendapatkan akses untuk pemeriksaan tes COVID-19. Seperti rombongan wartawan Istana yang ditolak saat hendak periksa di RSUP Persahabatan pada Ahad karena libur. Pemeriksaan tes COVID-19 di RSPAD Gatot Subroto baru bisa dilaksanakan sepekan ke depan.

Padahal, pengujian atau tes COVID-19 melalui laboratorium merupakan fundamental pertama dalam perang melawan virus COVID-19. Pengujian dilakukan untuk mengetahui tempat-tempat yang berpotensi menjadi sumber penularan virus berdasarkan riwayat kontak pasien positif COVID-19.

Hingga saat ini, di berbagai rumah sakit rujukan COVID-19, para tenaga kesehatan mulai kewalahan dengan banyaknya orang yang ingin melakukan pemeriksaan. Terbatasnya ruang isolasi di rumah sakit rujukan tersebut menjadi alasan untuk memilah tidak semua orang yang memiliki gejala COVID-19 dan memiliki riwayat kontak untuk segera diisolasi.

Kapasitas rumah sakit

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus memahami bahwa rumah sakit tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menampung semua pasien COVID-19 di tengah lonjakan kasus baru beberapa hari terakhir.

Beberapa negara, kata Tedros, memanfaatkan stadion olahraga dan pusat-pusat kebugaran untuk merawat pasien COVID-19 bergejala ringan sementara yang bergejala berat dirawat di rumah sakit.

Fundamental penanganan COVID-19 yang kedua adalah merawat dan mengisolasi setiap pasien yang dinyatakan positif COVID-19.

Merawat pasien dengan baik, terlebih para pasien berisiko tinggi seperti lansia dan orang-orang dengan penyakit penyerta, adalah langkah untuk menekan angka kematian akibat penyakit COVID-19.

Meskipun di China sebagai negara pertama yang terinfeksi angka kematian di setiap kasus COVID-19 atau “Case Fatality Rate” 3,98 persen, namun angka kematian tersebut berbeda-beda di setiap negara tergantung dengan bagaimana negara tersebut menangani penyakit ini.

Berdasarkan data WHO per tanggal 17 Maret 2020, angka kematian di Italia mencapai 8,94 persen yaitu 2.503 jiwa meninggal dari total 27.980 kasus. Sementara di Korea Selatan angka kematiannya hanya 0,97 persen yaitu 81 jiwa meninggal dari total 8.320 kasus COVID-19 yang ada.

Oleh karena itu merawat pasien COVID-19 adalah hal yang sangat fundamental yang sangat menentukan untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Hal ini sangat bergantung dari kesiapsiagaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang ada di suatu negara.

Memutus mata rantai

Sementara langkah isolasi pasien positif COVID-19 bertujuan agar penularan tidak makin menyebar ke orang lain yang membuat virus semakin sulit dikendalikan. Isolasi dan karantina virus adalah upaya yang harus dilakukan untuk memutus rantai penularan agar virus tidak bisa menyebar dan mati dengan sendirinya.

Tedros mengatakan setiap negara juga harus bergerak cepat dan agresif mengendalikan penyebaran virus dengan cara melacak riwayat kontak pasien positif COVID-19 untuk menghentikan laju penularan virus tersebut.

Setiap orang yang memiliki riwayat kontak dengan pasien positif COVID-19 harus dites, dan juga dilakukan isolasi apabila ternyata positif, dan kembali dilakukan riwayat kontak untuk menahan laju penyebaran. Upaya itu harus dilakukan sampai pada akhir rantai penularan.

Pelacakan riwayat kontak setiap orang yang positif COVID-19 menjadi hal fundamental. Karena setiap orang yang memiliki kontak dekat dengan kasus positif COVID-19 memiliki potensi tertular dan menularkan virusnya ke orang lain.

Di Indonesia, pemerintah dengan gencar mengampanyekan pembatasan sosial dengan meliburkan sekolah dan perguruan tinggi, mengimbau para pekerja untuk bekerja di rumah, menutup tempat wisata, membatalkan acara pertemuan besar, dan mengimbau untuk menghindari kerumunan.

Masyarakat juga mulai sadar akan kebersihan diri dengan selalu mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menerapkan etika batuk, dan menggunakan masker ketika sakit atau di tempat yang berisiko.

Namun, Dirjen WHO Tedros menegaskan pembatasan sosial dan menjaga kebersihan tangan tidak cukup untuk melawan virus bernama resmi SARS-CoV 2 ini.

Tedros menyebut bahwa tulang punggung atau hal paling fundamental dalam melawan COVID-19 adalah melakukan uji laboratorium untuk mengetahui keberadaan virus, merawat pasien terkonfirmasi positif untuk menyelamatkan nyawa, mengisolasi pasien dan melakukan pelacakan riwayat kontak pasien untuk menghentikan penularan virus.

Risiko besar

Risiko besar akan menanti bagi negara yang tidak siap dan tidak melakukan upaya penanganan COVID-19 dengan benar. Mari runut satu per satu apa yang akan terjadi apabila hal-hal fundamental penanganan COVID-19 itu diabaikan.

Apabila banyak orang yang merasa kontak dengan kasus positif COVID-19 atau berasal dari wilayah berisiko, namun tidak dapat dilakukan pemeriksaan, virus-virus itu akan semakin tidak terlihat dan dapat menyebar begitu bebas tanpa diketahui tempat penularannya, baik itu oleh Kementerian Kesehatan bersama Dinas Kesehatan yang dibantu oleh Polri dan BIN, apalagi oleh masyarakat biasa.

Jika orang yang merasa sakit COVID-19, namun tidak mendapatkan perawatan dengan baik, atau tidak dilakukan isolasi karena keterbatasan fasilitas kesehatan, virus akan dengan leluasa menginfeksi orang-orang yang sehat untuk menjadi inang barunya.

Ditambah lagi apabila pelacakan riwayat kontak kalah cepat dengan pertambahan kasus baru yang begitu banyak, penyebaran virus tidak lagi dalam klaster-klaster tertentu melainkan akan menjadi sporadis, dan paling parahnya penularan terjadi di masyarakat luas yang menjadi semakin sulit dilacak.

Bila semakin banyak orang yang merasa sakit dan mendatangi rumah sakit sedangkan kapasitas fasilitas kesehatan tidak mencukupi dan SDM kesehatan tidak siap, hal fundamental dalam merawat pasien COVID-19 akan terlewatkan yang dampaknya bisa berujung pada kematian.

Kekhawatiran WHO

WHO mengkhawatirkan apabila penyakit COVID-19 ini semakin meluas pada negara dengan fasilitas kesehatan yang tidak merata di seluruh wilayahnya. Selain itu, WHO menyebut penyakit COVID-19 ini berbahaya apabila menyebar dengan luas di negara-negara dengan berbagai masalah kesehatan yang belum tertangani.

Angka kesembuhan COVID-19 saat pertama mewabah di China bisa mencapai 60 persen lebih. Namun, merujuk data John Hopkins University hingga saat ini, setelah menjadi pandemi di seluruh dunia angka kesembuhannya berada di rentang 41,3 persen yaitu 81.961 orang sembuh dari total 198.179 total kasus di seluruh dunia.

Berdasarkan hasil studi di China, kelompok paling berisiko dari penyakit COVID-19 ini adalah lansia dan orang-orang yang memiliki penyakit penyerta seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, penyakit paru, dan penyakit yang mempengaruhi kekebalan tubuh seperti HIV.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018, prevalensi diabetes di Indonesia mencapai 8,5 persen, hipertensi 34,1 persen, penyakit ginjal kronik 3,8 persen, dan prevalensi TB nomor tiga terbesar di dunia.

Oleh karena itu penanganan COVID-19 di Indonesia harus dilakukan dengan upaya yang komprehensif, cepat, dan agresif sebelum penularan semakin meluas dan dampak dari risiko COVID-19 tersebut benar-benar menjadi nyata.

Artikel ini ditulis oleh:

Eko Priyanto