Jakarta, aktual.com – Peperangan antara Palestina dengan Israel tahun ini yang dimulai pada tanggal 7 Oktober hingga sekarang belum selesai. Sudah banyak korban yang berjatuhan dari kedua belah pihak, bahkan tentara-tentara Israel dengan keji membantai anak-anak, orang tua, dan wanita.

Sejarah kota al-Quds tidak dapat dipisahkan dari sejarah Palestina kuno yang mengakar secara historis semenjak 6000 tahun silam. Palestina sebelumnya dikenal dengan sebutan bumi Kanaan yang merujuk kepada orang-orang kanaan yang berbangsa Arab. Mereka adalah bangsa semit purba yang pertama-tama menempati wilayah ini dan membangun kota tersebut.

Al-Quds merupakan kota yang menyimpan nilai-nilai spiritual, moral, dan religi bagi segenap penganut agama-agama samawi. Al-Quds adalah simbol, kedudukan, bumi para nabi, tempat dibumikannya wahyu langit. Al-Quds adalah tanah suci yang diberkati Allah Swt, berserta kawasan disekelilingnya.

Kendati telah dilakukan upaya-upaya yahudisasi, penghilangan identitas, pemukiman paksa, dan penghapusan demografi, kota al-Quds akan menjadi kota Arab-Islam.

Identitas Arab yang Mengakar Dalam Sejarah

Kota al-Quds merupakan salah satu kota paling tua di Dunia. Semua sumber sejarah sepakat menginformasikan bahwa orang Yebus, cabang dari bangsa Kanaan yang hidup 6000 tahun yang lalu adalah orang-orang yang mula mendiami dan membangun kota dan peradaban di sana.

Mereka mendiami kawasan tersebut semenjak 3000 tahun sebelum Masehi. Jauh sebelum lahirnya agama dan bangsa Yahudi, bahkan sebelum adanya bahasa Ibrani dan sebelum ditulisnya Taurat dalam rentang waktu lebih dari 25 abad.

Kota al-Quds dalam bahasa kanaan dikenal sebagai Ursyalim, negeri penuh damai atau Darussalam. Berdasarkan penuturan Taurat, bahwa orang-orang Arab dari suku Yebus terus mendiami wilayah tersebut, yakni bumi Kanaan hingga zaman Nabi Daud As dan putranya, Sulaiman As mereka tidak beranjak meninggalkan negeri itu saat orang-orang Yahudi memasuki wilayah itu pada seribu tahun pertama sebelum Masehi. Dengan sangat jelas, Taurat membedakan antara Yerusalem dengan Sion, kota Daud.

Kitab Taurat menyebutkan:

“Lalu raja (Daud) dengan orang-orangnya pergi ke Yerusalem, menyerang orang Yebus, penduduk negeri itu. Tetapi Daud merebut kubu pertahanan Sion, yaitu kota Daud. Dan Daud menetap di kubu pertahanan itu dan menamainya: Kota Daud, (II Samuel 5: 4-10).

Terbaca dengan jelas dari teks Perjanjian Lama bahwa periode kekuasaan Nabi Daud As dan Nabi Sulaiman As tidak lebih dari 73 tahun. Nabi Dadu berkuasa selama 33 tahun, sedangkan Nabi Sulaiman selama 40 tahun. Inilah satu-satunya periode atau masa di mana bangsa Yahudi memiliki wujud di kota tersebut.

Sesudah peristiwa penawanan bangsa Yahudi oleh Babilonia (587 SM), penduduk asli al-Quds yang berbangsa Arab tetap menduduki dan berkuasa penuh atas kota Ursyalim selama 25 abad, semenjak masa itu hingga kini. Dari rentang waktu itu, 14 abad di antaranya berada dalam kekuasaan Islam.

Penanggalan bagi status al-Quds sebagai bagian dari bumi Arab tidak dimulai semenjak pembebasan Arab-Islam di bumi Palestina tahun 17 H atau 639 M, sebagaimana dipahami oleh banyak ahli sejarah.

Temuan Arkeologis Versus Klaim Zionis

Demi mewujudkan cita-cita Zionisme dan menciptakan tali penghubung antara sejarah bangsa Yahudi dengan Negara Pendudukan Israel, Organisasi Zionisme Internasional berupaya keras memanipulasi sejarah Arab Palestina kuno dan merekayasa pembuatan sejarah kota suci al-Quds dengan mengerahkan sekumpulan ilmuwan.

Meski demikian temuan-temuan arkeologis di Palestina, yang dinilai sebagai dokumen sejarah yang memiliki keabsahan paling kuat dan tidak diragukan kebenarannya, berpihak kepada bangsa Arab-Muslim. Temuan Arkeologis itu meruntuhkan dakwaan palsu, fiksi, dan kebohongan Zionis. Fakta-fakta arkeologis tersebut sekaligus menyingkap kebohongan dan mitos-mitos dalam kitab Talmud.

Adanya kontradiksi antara peristiwa-peristiwa yang termaktub dalam Perjanjian Lama dengan penemuan-penemuan arkeologis, menghadirkan kekecewaan dan rasa putus asa mendalam di kalangan para ilmuwan. Sehingga, dengan sangat terpaksa, mereka memutuskan hubungan dengan Perjanjian Lama untuk mempertahankan fakta-fakta ilmiah yang mereka temukan. Para ilmuwan yang objektif menyadari bahwa bersandar pada riwayat-riwayat Taurat dirasakan sebagai pekerjaan yang sia-sia.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain