Produk pangan petani Indonesia, lanjut Agus, tidak dapat bersaing dengan produk pangan overproduksi negara maju. Produk-produk pertanian impor dari negara maju kebanyakan harganya sangat murah karena subsidi.

“Bukti nyata jomplangnya harga bisa dibuktikan dari harga kedelai, susu, jagung, gula, garam, bahkan beras,” tegasnya.

Sebelumnya, WTO telah memenangkan gugatan Amerika Serikat dan Selandia Baru terkait kebijakan proteksi Indonesia atas produk holtikultura dan oeternakan pada 22 Desember 2016 lalu.

Kekalahan dalam kasus gugatan ini akan mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia untuk mewujudkan swasembada pangan dan daging.

“Kebijakan proteksi jelas menghambat dan melanggar aturan perdagangan bebas yang sudah disyaratkan oleh WTO yang mana Indonesia sudah menjadi anggotanya sejak tahun 1995. Demikian resiko yang harus dihadapi oleh Indonesia dan negara mana pun yang menerapkan aturan proteksi,” tegas Agus.

Ia menyampaikan, importasi tidak hanya disebabkan oleh ketidakcukupan jumlah produk dan juga terganggunya distribusi produk tersebut, namun juga karena adanya kewajiban untuk memberi ruang impor setelah negara tersebut menjadi anggota WTO. Produk impor akan bersaing dan menggeser produk-produk lokal, yang selanjutnya berdampak pada menurunnya kesejahteraan petani lokal.

“Hal inilah yang dirasakan oleh para petani kentang SPI di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Kentang impor dari Cina dan Pakistan membanjiri pasar-pasar lokal di Jawa Tengah dan Jakarta dan dijual dengan harga lebih murah daripada kentang lokal.

“Akibatnya petani mengalami kerugian cukup besar, dan akhirnya menggedor pemerintah dengan melakukan aksi yang melibatkan 3.000-an petani kentang pada 8 Desember 2016 lalu di depan Kantor Kementerian Perdagangan di Jakarta,” tutupnya.

Laporan: Teuku Wildan

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby