Jakarta, Aktual.com – Dampak perubahan iklim setelah setahun pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi 2018-2038 dianalogikan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) seperti bencana.

“Masyarakat Riau hanya kenal iklim bencana. Di musim kemarau menghirup polusi asap, di musim penghujan terkena banjir. Dua musim itu mengancam keselamatan masyarakat Riau karena buruknya pengaturan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Provinsi Riau,” kata Wakil Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo di Jakarta, Jumat (9/8).

Buruknya iklim di Riau tak hanya menimpa masyarakat biasa, namun Gubernur Riau, Syamsuar, mengaku terkena infeksi saluran pernapasan (ISPA) akibat kabut asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut yang kembali terjadi di Riau sejak Januari 2019.

Kabut asap menyebabkan 1.760 warga terserang ISPA. Tercatat sejak 2015, enam warga meninggal dunia terkena polusi asap karhutla dan 104.408 warga terkena ISPA.

Bencana di musim penghujan tak kalah mirisnya. Juni 2019, warga Pekanbaru, Yeni Riski Purwati (27), meninggal terseret banjir di kota Pekanbaru. Sepanjang 2008-2019, sebanyak 53 orang meninggal dunia di Riau dan ribuan warga mengungsi setiap tahunnya akibat terdampak banjir.

Okto mengatakan Jikalahari mencoba memberi masukan soal KLHS sebelum Perda disahkan, namun masukan itu tidak diakomodir. Malah menurut Okto, hasil laporan final KLHS yang tidak pernah diparipurnakan tiba-tiba saja sudah menjadi lampiran KLHS dalam Perda RTRW Provinsi Riau. Padahal KLHS itu belum disetujui oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar.

Artikel ini ditulis oleh: