Jakarta, Aktual.com – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Jimly Asshiddiqie berharap konstitusi akrab dengan keseharian, baik budaya pikir maupun perilaku rakyat, agar tata aturan konstitusi terlaksana dengan baik.
“Konstitusi jangan dibiarkan berisi nilai-nilai abstrak yang jauh (tak terjangkau, red.),” katanya, saat diskusi daring “Bernegara Seri-1 (Refleksi dan Proyeksi 75 Tahun Indonesia: Berpolitik, Bernegara, Berkonstitusi)”, Ahad malam (23/8).
Yang jelas, kata dia, adalah bagaimana terus menggerakkan konstitusi, tetapi bukan melulu memaksakannya dengan kekuasaan, melainkan bagaimana kesadaran sendiri sebagai anak bangsa.
Ia melihat masih cukup banyak hal selama 20 tahun perjalanan reformasi yang perlu dievaluasi, baik dari ketaatan terhadap konstitusi hingga penerapan demokrasi, apalagi bertepatan dengan peringatan 75 tahun kemerdekaan Indonesia.
“Dalam rangka 75 tahun merdeka, objek refleksi kita, pertanyaannya apakah budaya politik sudah keluar dari budaya politik kerajaan? Jangan-jangan budaya mereknya republik tetapi kelakuan masih kerajaan. Feodalisme,” katanya.
Demikian pula dengan penegakan hukum, kata dia, rakyat mestinya merefleksikan penegakan hukum sepanjang perjalanan reformasi yang idealnya berjalan lebih baik.
“Jangan-jangan kita baru tegakkan hukum secara formal prosedural, belum substansial,” kata Ketua MK periode 2003-2008 itu.
Menurut Jimly, generasi muda, khususnya mesti melakukan refleksi atas perjalanan reformasi untuk masa depan bangsa yang lebih baik, terlebih juga menghadapi pandemi COVID-19.
“Saya ingin mengajak generasi milenial mengadakan refleksi bahwa apa yang sedang terjadi selama 20 tahun pascareformasi tidak seluruhnya ideal,” katanya.
Artinya, kata Jimly, evaluasi perlu dilakukan secara substantif dengan daya jangkau yang jauh ke depan bagi Indonesia.
Sementara itu, Harry Tjan Silalahi selaku anggota Dewan Pendiri CSIS mengakui banyak hal yang mesti dilakukan untuk membenahi masa depan Indonesia, termasuk dalam pembuatan aturan atau regulasi.
“Aturan-aturan terkesan adoptif dan sesaat saja. Tidak disatukan, tidak dipikirkan segalanya,” katanya.
Bagaimanapun, Harry mengingatkan bahwa undang-undang harus tetap terikat dengan kultur, budaya, dan filsafat yang hidup di suatu tempat sehingga tidak bisa dicangkok begitu saja.
Demikian pula, kata dia, dengan kian lunturnya praktik demokrasi hingga berkembangnya dinasti politik.
Meski demikian, Harry tetap menaruh rasa optimisme bahwa bangsa Indonesia bisa melewati berbagai persoalan yang ada, sebagaimana para pendahulu yang juga menghadapi kesulitan, tetapi bisa mengatasinya. (Antara)
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin