Jakarta, Aktual.com – Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan Pemerintah Indonesia menolak adanya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan terhadap Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, China.

“Ya pasti kita semua juga menolak atau mencegah suatu penindasan kepada ‘human right’, jadi hak asasi manusia. Tapi secara umum, pelanggaran HAM juga harus kita perjuangkan,” kata Jusuf Kalla usai memberikan pidato kunci pada Konferensi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Tahun 2018 di Jakarta, Senin (17/12).

Indonesia menolak dengan tegas terhadap tindak pelanggaran HAM, namun tidak bisa turut campur dalam persoalan domestik yang terjadi di China, kata Wapres JK.

“Tapi kalau masalah domestik, tentu kita tidak ingin mencampuri masalah domestik Uighur,” tambahnya.

Kecaman terhadap Pemerintah China muncul salah satunya dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menilai tindak kekerasan terhadap Muslim Uighur, seperti yang diberitakan media massa internasional dengan penyiksaan, pengucilan dan pelarangan menjalankan ibadah, harus dihentikan.

“Penindasan seperti itu merupakan pelanggaran nyata atas Hak Asasi Manusia, dan hukum internasional,” kata Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin.

Din Syamsuddin yang juga President of Asian Conference on Religions for Peace (ACRP) meminta Pemerintah Indonesia untuk menyatakan dan menyalurkan sikap umat Islam Indonesia dengan bersikap keras dan tegas terhadap pemerintah China dan membela nasib umat Islam di sana.

Dia juga mendesak Organisasi Kerja sama Islam (OKI) dan masyarakat internasional untuk bersikap tegas terhadap rezim China dalam memberikan hak-hak sipil bagi mereka.

Sementara itu, Pemerintah China menolak tudingan masyarakat internasional bahwa rezimnya telah melanggar HAM terhadap etnis Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang.

Pemerintah China beralasan tindakan tegas tersebut dilakukan untuk mencegah terjadi penyebaran ideologi radikal di kalangan masyarakat Uighur. Konsul Jenderal China di Surabaya Gu Jingqi mengatakan persoalan yang dialami suku Uighur merupakan masalah separatis yang muncul dari sebagian kecil warga setempat.

“Warga muslim Uighur di Xinjiang sekitar 10 juta jiwa, sebagian kecil berpaham radikal ingin merdeka, pisah dari RRT. Itu yang kami, Pemerintah China, atasi,” kata Jingqi kepada Antara di Surabaya, Jumat (13/12).

Jumlah warga etnis Muslim Uighur sekitar separuh dari populasi warga Muslim di China. Sehingga, Jingqi beranggapan tindakan yang dilakukan terhadap etnis Uighur bukanlah bentuk intoleransi terhadap kaum minoritas di China.

Warga muslim di China sebanyak 23 juta jiwa, katanya, namun Pemerintah memperlakukan warga dengan sama. Meskipun minoritas, mereka tidak dibatasi dalam menjalankan ibadah sesuai kepercayaan mereka, ujarnya.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan