Bagi sebagian pembaca, judul tulisan ini mungkin terkesan mengada-ada. Apa hubungannya antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan “Jalan Pedang” Musashi? Bahkan, bagi pembaca yang kurang akrab dengan sejarah dan budaya Jepang, pertanyaannya mungkin lebih mendasar lagi: Musashi itu siapa?
Tulisan ini mencoba mengangkat, mengkritisi, dan memaknai perjalanan karir politik Jokowi, sesudah hampir dua tahun memimpin pemerintahan. Analisis yang digunakan bukan dari perspektif politik, yang sudah banyak dilakukan oleh para pengamat lain, tetapi menggunakan pendekatan budaya, persisnya melalui filsafat “Jalan Pedang” Musashi.
Bagi pengamat politik nasional, naik-turunnya popularitas Jokowi sejak resmi menjadi Presiden tahun 2014 dan langkah-langkahnya di pemerintahan menjadi fenomena menarik. Tentu, ada pujian dan kritik, bahkan kecaman, terhadap langkah Jokowi sebagai kepala pemerintahan. Dengan niat baik menuju perbaikan, tulisan ini mencoba memaknai kiprah Jokowi selama dua tahun memimpin dari perspektif jalan pedang Musashi.
Miyamoto Musashi (1584-1645), atau disebut juga Shinmen Takezo, Miyamoto Bennosuke, atau Niten Doraku, adalah seorang ronin atau samurai tak bertuan, dan jago pedang Jepang yang sangat terkenal di abad pertengahan. Berbagai kisah menuturkan kehebatannya memainkan pedang. Ia memegang rekor tak terkalahkan, dalam 60 kali duel yang pernah dilakukannya. Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, Musashi mengarang kitab Go Rin no Sho (Buku Lima Cincin), sebuah buku tentang strategi, taktik, dan filsafat, yang terus dijadikan bahan kajian sampai hari ini.
Musashi awalnya adalah seorang pemuda yang liar dan sulit diatur. Masa kecilnya tidak bahagia. Ia tidak akur dengan ayahnya, seorang samurai pemilik tanah, karena Musashi sering mengritik keras seni bela diri ayahnya. Sebelum berusia 13 tahun, Musashi kabur dan tinggal dengan pamannya. Tapi di usia itu, ia sudah mampu mengalahkan seorang pendekar pedang. Pada usia 16 tahun, Musashi kembali bertarung dengan seorang samurai tangguh dan menang lagi.
Mendapat Pencerahan
Mulai saat itu, ia memutuskan pergi bertualang mengikuti “Jalan Pedang”. Musashi mendapat pencerahan sesudah bertemu Soho Takuan, seorang biksu Zen. Selama tiga tahun dalam bimbingan Takuan, Musashi tinggal di puri Ikeda dan mempelajari beragam buku, mulai dari seni perang Sun Tzu, Taoisme, Zen, sampai sejarah Jepang. Selesai menjalani pembelajaran, pada usia 21 tahun, Musashi mulai berkelana lagi.
Duel puncak Musashi adalah saat melawan Sasaki Kojiro, jago pedang yang masih muda dan sangat tangguh. Kojiro adalah sosok pemain pedang ideal pada zaman itu: garis keturunannya tak tercela dan guru-gurunya ternama. Lewat disiplin latihan yang tinggi, Kojiro mencapai tingkat kekuatan dan kecepatan memainkan pedang yang luar biasa. Dikisahkan, ia mampu menebas walet dan lalat yang terbang di dekatnya.
Namun, pada duel mereka di Pulau Funajima, ternyata Musashi berhasil mengalahkan Kojiro. Kepala Kojiro pecah oleh tebasan Musashi, padahal Kojiro lebih cepat dan lebih kuat daripada Musashi. Sesudah pertarungan itulah Musashi mendapat pencerahan baru. Kunci kemenangan dalam pertarungan terutama bukanlah terletak pada keterampilan seni berperang, kecepatan, dan kekuatan, tetapi pada prinsip atau semangat. Pada pertarungan itu, Kojiro mengandalkan pada pedang kecepatan dan pedang kekuatan, sedangkan Musashi menggunakan pedang semangat.
Bagi Musashi, kemenangan sebuah pertarungan terletak pada prinsip atau semangat, bukan tipuan dan ketidakjujuran. Dalam kitab Go Rin no Sho Go, Musashi menulis: “Jalan seni adalah langsung dan benar, jadi kau harus dengan tegas berusaha mengejar orang-orang lain dan menundukkan mereka dengan prinsip-prinsip sejati.”
“Jalan” dalam bahasa Jepang disebut do, seperti halnya akhiran –do yang biasa ada di aliran-aliran bela diri seperti kendo, aikido, karate-do, dan sebagainya. Artinya, ilmu beladiri tersebut bukanlah sekadar beladiri, tapi juga disiplin dan jalan hidup. Tiap beladiri memiliki filosofi sangat dalam. Hidup yang sesuai jalannya akan mengantar pada kebahagiaan dan petunjuk untuk hidup yang benar.
Kembali ke Pedang Semangat
Dari sinilah, kita melihat relevansi “Jalan Pedang” Musashi dengan kiprah Jokowi. Pedang prinsip dan semangat adalah yang mengantar Jokowi memenangkan pemilihan presiden 2014. Semangat itulah yang ditangkap oleh rakyat pemilih, sehingga seorang mantan walikota yang “tidak ada apa-apanya” bisa mengalahkan seorang jenderal, dari keturunan terpandang, dengan latar belakang yang luar biasa.
Namun, ketika sudah mulai menjalani pemerintahan, Jokowi tak terhindarkan menjadi bagian dari real-politik di Indonesia. Jokowi berhadapan, berurusan, dan sampai tahap tertentu terpaksa berkompromi dengan pragmatisme di sekitarnya, tawar-menawar politik, dan langkah-langkah transaksional. Dalam filosofi “Jalan Pedang,” praktik-praktik ini adalah bersandar pada kekuatan, kecepatan, dan keterampilan bermain pedang belaka.
Dua tahun berkuasa, Jokowi memang makin terampil berpolitik praktis dan makin paham bagaimana cara “bermain.” Tetapi sadar atau tak sadar, Jokowi bisa saja terlarut. Ia telah beralih mengandalkan pedang kekuatan dan pedang kecepatan seperti Kojiro, bukan lagi pedang semangat Musashi.
Program Nawacita dan “revolusi mental” sebagai wujud “pedang semangat” terasa memudar. Kini, tak ada salahnya Jokowi merenung diri. Jokowi harus sadar dan kembali ke “Jalan Pedang” Musashi, karena dalam semangat dan prinsip itulah letak kekuatan sejati seorang Jokowi. ***
*Satrio Arismunandar, praktisi media, Doktor Ilmu Filsafat dari Universitas Indonesia.
E-mail : arismunandar.satrio@gmail.com
Artikel ini ditulis oleh: