Jakarta, Aktual.com — Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum lama ini telah mencairkan dana cadangan pinjaman darurat dari Bank Dunia (WB) dan Bank Pembangunan Asia (ADB) senilai USD5 miliar atau setara Rp65 triliun.
Langkah pemerintah ini seolah tidak tepat, mengingat sebelumnya juga menteri-menterinya, seperti Menteri BUMN Rini Soemarno juga gemar ngutang. Selain tiga bank BUMN diminta ngutang ke China Development Bank masing-masing USD1 miliar juga proyek kereta cepat dibiayai utangan dari China sebesar USD5,5 miliar.
“Kalau semangat nawacita dan gotong royong dikedepeankan. Kita tidak mudah berhutang. Karena utang itu bukan sesuatu yang membanggakan, sekalipun kita mudah mendapatkannya,” tandas Wakil Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) Nahdlatul Ulama (NU), Luluk Hamidah kepada Aktual.com, di Jakarta, Senin (14/3).
Karena bagi dia, utang itu seperti tawanan. Mereka mudah kasih utang ke Indonesia, tapi yang mereka ambil justru lebih banyak lagi.
“Dan setelah dibayar mereka pasti minta sesuatu lagi. Itu akan double dan double. Makanya saya heran mengapa rezim Jokowi berutang lagi? Apa manfaatnya, memang kita sedang krisis?” tanya dia lagi.
Dengan sikap seperti itu, Jokowi dan beberapa menterinya yang doyan berhutang sudah melenceng jauh dari semangat nawacita.
Sekadar mengingatkan, dalam kampanye dulu pasangan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) mengusung visi misi nawacita (sembilan harapan).
Nawacita itu sebagai langkah untuk melanjutkan semangat perjuangan dan cita-cita Soekarno yang dikenal dengan istilah Trisakti, yakni berdaulat secara politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
“Kita harus ingatkan terus cita-cita awal Jokowi. Dan bagi menteri yang tidak menerapkan nawacita dan suka berhutang untuk menggolkan kepentingan tertentu harus direshuffle,” sarannya.
Semangat rakyat Indonesia saat ini ingin pelan-pelan mengurangi utang. Karena sebagai bangsa besar, tidak mungkin terus menerus tersandera utang. Sementara kekuatan bangsa ini untuk membayar utang masih dipertanyakan.
“Jangan bayarnya dengan aset bangsa ini yang digadaikan,” tuding dia.
Lebih lanjut ia menegaskan, kalau alasan pemerintah Jokowi menambah utang hanya untuk membangun infrastruktur, kenapa kemudian tidak memaksimalkan pembiayaan dari dalam negeri saja?
“Tapi saya melihat, atas kepenitngan bersama pembiayaan dari dalam negeri itu masih memungkinkan. Yang penting pemerintah mau mendorongnya,” pungkas dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan