Jakarta, Aktual.com – Pada saat membuka Musyawarah Besar Bamus Betawi di Balai Kota Jumat (31/8), Gubernur Jakarta Anies Baswedan membicarakan kebesaran hati pemimpin di masa lalu.
Dia menuturkan, banyak tokoh bangsa yang mampu menundukkan egonya demi keutuhan bangsa. Dia mencotohkan, peristiwa tahun 1966 pada dasarnya Soekarno masih memiliki kemampuan untuk memobilisasi kekuatan politik dan mempertahankan jabatanya sebagai Presiden.
Namun ternyata kala itu Soekarno lebih memilih jalan pengorbanan bagi dirinya demi menghindari pertikaian sesama anak bangsa dan perpecahan negara Indonesia.
Anies berpendapat, tak jarang dalam mempertahankan posisi jabatan, banyak pemimpin melakukan apa saja, bahkan rela melakukan perang saudara. Contoh seperti ini banyak terjadi di negara Timur Tengah.
“Di Timur Tengah, banyak masalah timbul karena apa, karena praktik demokrasi. Di Indonesia, sebaliknya. Indonesia punya kematangan demokrasi, kalau tahu waktunya cukup, maka cukup sampai di sini. Di masa krisis lihat Bung Karno, tahun 1966 kalau Bung Karno bilang pada pengikutnya ‘saya akan teruskan jadi presiden’. Apa yang terjadi? Pecah republik ini,” kata Anies.
Menyikapi hal ini, Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan DPP PDIP Eva Kusuma Sundari merasa tindakan Anies merupakan bentuk provokasi dan mengesankan citra Jokowi yang berupaya melakukan apapun untuk mempertahankan jabatannya selaku Presiden.
“Itu asbun (asal bunyi)! Dia maksa, hanya pengin supaya Jokowi mundur, kan begitu tujuannya, sehingga dipaksa-paksa dengan konteks yang berbeda. Menurutku Mas Anies kurang baca kayaknya, kurang baca sejarah. Maunya tendensius tapi salah data,” kata Eva Sundari saat dimintai tanggapan, Minggu (2/9).
Kemudian lanjut Eva, kondisi Indonesia jauh berbeda dengan di Timur Tengah. Di Indonesia kehidupan berpolitik melalui jalan demokrasi yang sudah cikup baik daripada Timur Tengah.
“Di Timur Tengah kan tidak ada demokrasi Pancasila, tidak ada musyawarah mufakat, dan tidak ada gubernur yang bicara sak karepe dewe (semaunya sendiri). Di sini juga tidak memungkinkan adanya otoritarianisme dan diktator,” tutur Eva.
Sebagaimana diketahui, sejak Pilpres 2014 sikap politik rakyat Indonesia terbelah secara runcing, perbedaan padangan politik itu belum mampu disikapi secara dewasa dalam berdemokrasi. Tak jarang caci mencaci menciderai ruang publik.
Menjelang Pilpres 2019, kultur perpecahan politik Rakyat Indonesia semakin merucik. Puncaknya marak tuduhan tanpa dasar hukum yang berujung presekusi dan kekerasan lainnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta