Presiden Joko Widodo - TKA Tiongkok. (ilustrasi/aktual.com)
Presiden Joko Widodo - TKA Tiongkok. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com-Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radi menanggapi pemberitaan di media sosial yang menyatakan Presiden Jokowi sebagai pemimpin terbaik di kawasan Asia dan Australia merupakan pernyataan yang jauh dari kenyataan.

Lagian kata Fahmy, penilaian Bloomberg tersebut tidak menyatakan demikian, namun melainkan judul berita tersebut yaitu ‘Who’s Had the Worst Year? yang dalam bahasa Indonesia ‘Siapakah yang mengalami tahun terburuk kali ini?’

Namun sayangnya banyak pemberitaan yang menulis bahwa Bloomberg menobatkan Jokowi sebagi Pemimpin terbaik di kawasan Asia dan Australia. Hal tersebut membuatnya heran, karena kontradiktif dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Pertumbuhan ekonomi dicapai selama pemerintahan Jokowi sebesar 5,2, sama pada saat pemerintahan SBY yang dicapai dengan auto pilot, yang lebih digerakan oleh konsumsi. Artinya, Pemerintahan Jokowi do nothings namun pertumbuhan tetap akan tercapai berkisar 5 persen,” katanya, Senin (2/1)

Kemudian paparnya, puluhan paket ekonomi yang diluncurkan, sebagian besar tidak bisa dimplementasikan hal itu disebabkan lemahnya koordinasi antar departemen dan antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Adapun infrastruktur yang dibangun oleh Pemerintahan Jokowi, belum memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi antara 2-3 tahun sejak infrastruktur dioperasikan. Karena selain banyak yang tidak tepat sasaran dalam perencanaan pembangunan, namun proyek infrastruktur merupakan sektor ekonomi jangka panjang.

“Lalu mengenai deindustrialisasi saya pikir, semakin parah. Hal itu ditunjukkan kontribusi sektor manufakturing terhadap GDP semakin kecil. Kontribusi sektor non-tradeble terhadap GDP memang meningkat, tetapi tidak bisa menambah lapangan pekerjaan secara signifikan, seperti sektor manufaktur,” tambahnya.

Dalam kondisi tersebut, sektor konsumsi masih penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi, sehingga pertumbuhan masih bisa mencapai 5,2 persen.

Tetapi timpalnya, pertumbuhan ekonomi yang ditopang konsumsi dan sektor non-tradable, tidak akan mampu membuka lapangang kerja. Dampaknya, pengangguran meningkat, yang memicu kemiskinan dan kesenjangan. Lalu akan berlanjut peningkatan volatility rupiah dan akan menggangu bagi dunia usaha di indonesia.

“Kalau tidak ada perubahan struktural dalam perekonomian Indonesia, utamanya perbaikan deindustrialisasi, maka sangat rentan krisis ekonomi, seperti yang pernah terjadi sebelumnya di Indonesia,” pungkasnya.
Laporan: Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby