Keempat, Jokowi tidak populer di kelompok pemilih Islam politik. LSI Denny JA menanyakan pertanyaan khusus kepada pemilih Islam, bagaimana pendapat mereka tentang pandangan bahwa agama harus dipisah dari politik. Sebesar 47.8 persen menyatakan bahwa agama dan politik adalah satu kesatuan.
“Agama tidak boleh dipisahkan dari politik. Sementara sebesar 35.8 persen
menyatakan bahwa agama harus dipisahkan dari politik. Dari mereka yang menyatakan bahwa agama harus dipisahkan dari politik, mayoritas (56.4%) menyatakan akan memilih Jokowi. Hanya 39.7 persen yang menyatakan akan memilih capres lainnya,” kata dia.
Sementara pada pemilih yang menyatakan bahwa agama dan politik tak dapat dipisahkan, justru lebih banyak yang inginkan presiden baru, yaitu sebesar 43.99 persen. Dan sebesar 39.3 persen menyatakan akan memilih Jokowi. “Data ini menunjukan bahwa Jokowi kalah populer di komunitas Islam politik
yang sedang menggeliat,” kata dia.
Kelima, Jokowi dinilai publik masih lemah dan bisa dikalahkan. Survei ini menunjukan bahwa hanya sebesar 32.28 persen yang menyatakan Jokowi kuat dan akan menang. Dan sebesar 28.02 persen menyatakan bahwa Jokowi masih bisa dikalahkan. Sementara sebesar 39.70 persen menyatakan tidak tahu.
Lalu siapakah cawapres paling potensial? LSI Denny JA mengembangkan sebuah metode baru dalam mengukur potensi dan kelayakan cawapres. Metode yang digunakan adalah expert judgment. Metode ini dikembangkan karena pengalaman pilpres 2009.
“Ketika SBY sebagai petahana saat itu memilih Boediono sebagai cawapres. Boediono bukanlah tokoh yang saat itu memiliki elektabilitas yang tinggi. Namun SBY memiliki kriteria dan pertimbangan lain dalam memilih Boediono. Oleh karena itu, LSI Denny JA mengembangkan metode baru yang tidak hanya mempertimbangkan elektabilitas dalam mengukur potensi dan kelayakan cawapres,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara