Jakarta, Aktual.com – Tak hanya di Jakarta, suhu udara di berbagai daerah mungkin juga sama yakni panas, sehingga membuat masyarakat kegerahan. Bahkan di sejumlah daerah mengalami kekeringan akibat musim kering ini. Kondisi ini memang faktor alam.
Kondisi di atas juga hampir sama dengan kondisi perpolitikan tanah air, yakni semakin memanas menjelang Pilpres 2019. Dalam Pilpres 2019 ini ada dua pasangan calon yakni Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Keduanya, saat ini tengah meributkan masalah agama, yang tak boleh ditarik-tarik keurusan politik. Agak aneh memang, bila satu kubu ini masih mempermasalahkan agama harus dipisahkan dengan politik.
Bila kita menengok pidato politik dan rumusan Pancasila yang disampaikan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945 saat menggelar sidang BPUPKI. Dalam pidatonya, Bung Karno jelas sekali menyebutkan adanya sila “Ketuhanan”.
Secara politik kenegarawanan, Bung Karno menyepakati Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Juga ketika menjadi ketua PPKI, Bung Karno menyepakati Pancasila rumusan tanggal 18 Agustus 1945, yang menjadikan sila “Ketuhanan”, yang malah menjadi sila pertama.
Dengan demikian mudah disimpulkan bahwa Bung Karno sejak awal pendirian NKRI memasukkan keagamaan (berketuhanan) sebagai sila yang sangat penting dalam kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara.
Demikian halnya jika kita membaca pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Tertulis di bawah bab agama bahwa negara Indonesia berdasarkan pada “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pasal dan ayat ini ditetapkan oleh lembaga politik tertinggi negara yaitu MPR. Bahkan saat melakukan amandemen UUD pada 1999-2002 anggota MPR menyepakati tidak ada perubahan terhadap pasal tersebut.
Keputusan politik MPR sebagai lembaga tertinggi negara saat itu justru menjadikan “Ketuhanan Yang Maha Esa” tetap eksis dalam konstitusi Republik ini. “Ketuhanan Yang Maha Esa” pula yang mendasari negara, bukan malah memisahkannya dari kegiatan bernegara, termasuk dalam berpolitik.
Tapi demikian, hal ini dipermasalahkan oleh kubu Jokowi. Mantan panglima TNI Moeldoko misalnya menyarankan agar para pemuka agama tetap fokus pada kegiatannya membimbing umat. Jika terus bermain politik, kata Moeldoko, masyarakat yang akan terkena imbasnya.
“Kasihan umat. Mau ke mana nanti,” kata dia usai Kampanye Nasional Pencegahan Stunting di Monas, Jakarta, Minggu (16/9).
Bahkan Moeldoko menyebut, sudah banyak publik figur yang tadinya aktif di kegiatan agama lalu beralih ke politik malah ditinggal jamaahnya. Dia berharap hal ini tidak sampai terjadi kepada para tokoh agama yang menggelar Ijtima Ulama II ini.
Diketahui, tokoh agama yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) menggelar Ijtima Ulama II pada Minggu (16/9). Tokoh dan ulama termasuk Habib Rizieq Shihab yang mengikuti acara lewat sambungan video konferensi sepakat mendukung Prabowo-Sandiaga Uno dalam Pilpres 2019.
Keputusan Ijtima Ulama II ini memang berbeda dengan keputusan pada Ijtima Ulama I yang merekomendasikan nama calon wakil presiden Prabowo adalah Abdul Somad, dan Salim Segaf Al Jufri. Pada kesempatan Ijtima Ulama II, Prabowo diminta menjelaskan mengapa tak memilih dua nama yang direkomendasikan tersebut.
Tapi, tidak diketahui apa alasan yang disampaikan Prabowo soal dia memilih Sandiaga Uno, bukan dua nama yang direkomendasikan di atas. Dalam beberapa kesempatan Prabowo mengaku tidak ingin memecah belah umat karena di kubu Jokowi telah memilih ulama sebagai calon wapres yaitu Ma’ruf Amin.
Atas hal itu pula, Habib Rizieq Shihab membantah tengah memainkan politik transaksional melalui Ijtima Ulama II.
“Para ulama bukan sedang menjalankan politik transaksional. Dukungan kami ikhlas untuk Prabowo – Sandiaga,” kata Rizieq melalui pesan suaranya kepada peserta Ijtima Ulama II, Minggu (16/9) di Hotel Grand Cempaka, Cempaka Putih, Jakarta.
Soal adanya kesepakatan yang tandatangani dalam Ijtima Ulama II, Habib Rizieq mengaku, itu murni dilakukan untuk kebaikan berbangsa dan bernegara. Dia juga mengatakan kemenangan yang nanti diperoleh dari pasangan yang diusungnya merupakan kemenangan berkah.
Kesepakatan itu tertuang dalam Surat Keputusan Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional II nomor 01/IJTIMA/GNPF-ULAMA/MUHARRAM/1440 H tentang penetapan Presiden dan Calon Wakil Presiden. Dengan terbitnya pakta integritas itu, Habib Rizieq meminta pengikutnya menggalang dukungan untuk calon presiden dan wakil presiden yang diusung.
Petinggi FPI itu mengatakan bahwa dukungan ini dilakukan untuk memperjuangkan politik negara yang tunduk akan syariat dan konstitusi. Dia pun emoh bila ada pihak menyebut hal ini sebagai transaksi politik.
Sebelum Ijtima Ulama II digelar, Ketua Presidium Aksi Bela Islam, Kapitra Ampera yang kini merapat ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menganggap isi rekomendasinya tidak mengindahkan rekomendasi Ijtima Ulama I dan malah bermuatan politik praktis.
Berdasarkan informasi yang diperolehnya, Ijtima Ulama II ini dibatalkan karena itu hanya memenuhi keinginan “nafsu Prabowo saja. ” Itu kenyataannya kita di masukin dalam sunami ambisi lalu terpasung dalam tidak ada pilihan,” kata dia ketika dihubungi redaksi.
Jika GNPF Ulama berkomitmen pada isi rekomendasi Ijtima Ulama I, kata dia, maka seharusnya yang menjadi capres atau cawapres adalah ulama, Tapi yang terjadi, Sandiaga yang dijadikan bakal cawapres mendampingi Prabowo.
Dia mengaku heran dengan keputusan Ijtima Ulama II yang mendukung Prabowo – Sandiaga ini. Itu artinya, kata dia, Ijitma Ulama I ini dikhianati oleh Prabowo. Sebab, sejak awal nama Sandi tidak masuk dalam rekomendasi itu.
“Kalau Ijtima Ulama II cuma bela Prabowo dan Sandi, berarti kita cuma terpolarisasi untuk kepentingan politik tertentu. Kembali ke Ijtima Ulama I, bahwa ulama harus jadi wapres,” kata politikus PDI-P ini.
Baca selanjutnya Memainkan Politik Identitas