Jutaan Massa yang terdiri dari berbagai elemen melakukan aksi unjuk rasa di Bundaran Patung Kuda, Jakarta, Jumat (4/11). Dalam aksinya mereka menuntut penutasan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Analis politik dari Sabang-Merauke Circle Syahganda Nainggolan mengkritik Presiden Joko Widodo pasca aksi demonstrasi besar 4 November yang menuntut proses hukum bagi penista agama yang melecehkan umat Islam.

Jutaan massa aksi di depan Istana bubar meninggalkan insiden kerusuhan. Rakyat Indonesia terus bergerak bertolak ke Senayan membanjiri gedung DPR. Ribuan massa pun akhirnya menginap didepan kompleks parlemen.

Menurut Syahganda, ada yang mengherankan dari sikap dan pernyataan presiden. Dalam konferensi pers, Jokowi menilai demonstrasi aman dalam jadwal normal, yakni batas aksi hingga pukul 18.00 WIB. Tapi setelahnya, Jokowi menuduh ada aktor yang mendorong terjadinya kerusuhan. Termasuk adanya insiden kebakaran di Jakarta Utara.

“Rakyat ini tidak peduli dengan teori konspirasi. Atau dituduh ada aktor penunggang. Mereka datang dari seluruh penjuru Jakarta, Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, Lombok, dan bagian lainnya dari daratan Indonesia tercinta. Ikhlas,” ujar Syahganda dalam catatannya di Gedung DPR/MPR, Sabtu (5/11).

Syahganda mengatakan, massa berpindah dari Istana dengan ikhlas, berjalan kaki ke DPR dengan spirit perjuangan melawan penista agama Islam, yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

“Dan yang dikumandangkan dalam pidato-pidato di Monas, yakni melawan pelindung Ahok, yakni Jokowi,” tegasnya.

Kesalahan Jokowi

Memandang dari peristiwa dan sikap Presiden, Syahganda pun mencatat, dalam konteks demo rakyat raksasa pada 4 November kemarin, Jokowi mempunyai 2 kesalahan besar dalam sejarah bangsa ini.

Pertama, Jokowi melakukan simbolisasi dirinya sebagai tokoh rakyat jelata selama kampanye persiapannya menjadi walikota, gubernur dan presiden. Selain menunjukkan kedekatannya dengan pedagang kaki lima di Solo. Bahkan, Jokowi dinobatkan majalah Time sebagai tokoh penuh harapan.

“Model pencitraan ini telah memberi harapan pada rakyat bahwa Jokowi dekat dengan rakyat. Senang mendengar aspirasi dan keluhan rakyat. Jokowi adalah rakyat. Jokowi adalah kita,”

“Faktanya, pada tanggal 4 November ini, Jokowi menghindar dari rakyat. Jokowi telah memandang persoalan ummat Islam, ummat mayoritas, warga rakyatnya sendiri, secara sepele,” ungkap syahganda.

Ia menegaskan, ketidakpuasan rakyat atas penanganan kasus Al Maidah yang lambat, yang dinyatakan dalam demo sejuta massa adalah sebuah aspirasi. Hal itu, kata dia, seharusnya direspon dengan melakukan dialog langsung dengan rakyat.

“Jokowi seharusnya menjelaskan langsung. Menerima pimpinan massa. Pertimbangannya dua hal, yakni sifat persoalan yang fundamental. Sensitif terhadap terpecah belah nya bangsa ini,” cetus dia.

Soal penggusuran pedagang kaki lima saja Jokowi berdialog, mengapa persoalan yang jauh lebih besar, Jokowi menghindar. Lalu, dalam skala massa, demonstrasi kemarin merupakan aksi massa terbesar sepanjang sejarah Indonesia.

“Bagi orang yang lahir dari gerakan massa, seorang pemimpin rakyat paham betul bahwa pengorganisasian massa adalah pekerjaan besar. Besarnya jumlah massa ini menunjukkan besarnya sifat gerakan ini,” jelas Syahganda.

Kedua, Demonstrasi besar 4 November kemarin adalah hak konstitusional rakyat. Menurutnya, tuduhan Jokowi bahwa ada aktor politik yang memanfaatkan situasi hingga menyebabkan kerusuhan di seputar Monas dan di Jakarta Utara, adalah tuduhan konspiratif.

“Dalam dunia politik Jokowi telah berusaha membangun persepsi yang keliru tentang gerakan bela Islam yang di komandoi Habib Rizieq, Bachtiar Nasir dkk ini,”

“Kerusuhan kecil pada saat aksi ini bukanlah persoalan besar yang dikaitkan dengan niat politik diluar konteks demo tersebut. Persoalan kerusuhan kecil itu sebenarnya masih dalam dampak dan konsekuensi logis dari ketidak puasan massa atas respon dan dialog politik dengan elit,” paparnya.

Syahganda menambahkan, Selain Jokowi hanya mendelegasikan kepada pembantunya untuk berdialog dengan pimpinan massa (Menkopolhukam Wiranto, kemudian Wakil Presiden Jusuf Kalla), massa juga kecewa karena sebenarnya tuntutan mereka “gampang” dipenuhi oleh Jokowi.

“Karena soal penghinaan agama ini merupakan kewajiban konstitusional Jokowi, menjaga stabilitas nasional, yang serta merta bisa dipenuhi. Bukan besok, besok dan besok,” pungkasnya.

Jadi, kata dia, pencarian “kambing hitam” bukanlah cara beradab dalam demokrasi.

Sementara itu, lanjut Syahganda, gerakan massa ini tidak ada hubungannya dengan Prabowo Subianto, SBY atau siapapun. Sebab, tentu banyaknya jenderal purnawirawan TNI di lapangan aksi, ada tafsir yang bisa diberikan tanpa perlu menuduh mereka sebagai aktor politik.

“Sekali lagi massa aksi ini, sampai saat ini, berangkat dari ketulusan hati memperjuangkan agamanya,” terang dia.

Syahganda memprediksi, situasi nampaknya akan semakin buruk. Dengan adanya rakyat yang bertahan di gedung DPR dengan suasana revolusioner. Maka, sebuah revolusi sudah terjadi.

“Revolusi itu sendiri mungkin saja akan segera terjadi. Kepercayaan rakyat pada Jokowi juga sepertinya telah runtuh,”

“Kesalahan Jokowi sekali lagi adalah merasa bahwa potensi konflik sosial ini terbatas persoalan Pilgub DKI saja. Padahal gangguan ketenangan dan kedamaian sosial telah terjadi dalam bentuk dan alasan lain. Penistaan agama oleh Ahok dan Jokowi kurang peduli,” tutupnya.[Nailin In Saroh]

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid