Jakarta, Aktual.com – Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) menyatakan pemilihan kotak kosong pada Pilkada yang bercalon tunggal harus diapresiasi. Keterpilihan Kotak kosong sendiri merupakan sebuah pilihan politik dari masyarakat yang sudah melek politik.
“Keterpilihan pilihan kosong harus diapresiasi karena merepresentasikan keinginan rakyat sebagai pemilih. Jika memang kolom kosong mengalahkan calon tunggal, keterpilihan diberikan kepada kolom kosong,” ucap Koordinator Nasional JPPR, Masykurudin Hafidz, dalam keterangan tertulis yang diterima Aktual, Minggu (26/3) malam.
Pria yang biasa disapa Hafidz ini mencontohkan Pilkada Bunton yang menjadi salah satu dari sembilan wilayah dengan pasangan calon tunggal pada Pilkada serentak 2017 lalu. Dalam Pilkada Bunton, Samsu Umar Abdul Samiun-La Bakry menjadi satu-satunya paslon pemimpin daerah tersebut.
Namun menurut Hafidz, hal itu tidak membuat masyarakat Bunton pasrah dan rela begitu saja karena Samsu Umar masih berstatus tersangka dalam kasus penyuapan kepada Mantan Ketua MK, Akil Mochtar. Samsu Umar sendiri sudah menjadi tahanan KPK sejak 26 Januari 2017.
“Ini tercermin dari hampir 45 persen suara untuk kotak kosong. Dari sembilan daerah dengan pasangan calon tunggal pada Pilkada serentak 2017, hanya di Buton suara yang didapat kotak kosong hampir sama dengan yang diperoleh pasangan calon,” ungkapnya.
“Masalah hukum yang menjerat Umar menjadi alasan banyak warga di Buton mencoblos kotak kosong,” tambahnya.
Adanya kotak kosong pada kotak suara yang bercalon tunggal dalam Pilkada sendiri, lanjut Hafidz, telah sukses menekan jumlah suara yang tidak sah pada sembilan wilayah yang bercalon tunggal. “Rata-rata presentease suara tidak sah di sembilan daerah yang bercalon tunggal di Pilkada 2017 hanya 1,8%,” katanya.
Rincian presentase angka tidak sah dalam sembilan wilayah tersebut antara lain Kota Tebingtinggi 2,3 persen; Kabupaten Tulang Bawang Barat 1,2 persen; Kabupaten Pati 2,1 persen; Kabupaten Landak 1,5 persen; Kabupaten Buton 1,3 persen; Maluku Tengah 1,4 persen; Kota Jayapura 2,8 persen; Tambrauw 0,9 persen; serta Kota Sorong 2,8 persen.
Hal ini merupakan suatu hal yang positif, karena masyarakat ternyata masih memiliki pilihan di tengah minimnya kandidat yang ada. Hafidz pun menyebut bahwa calon tunggal bukanlah jaminan untuk memenangi kursi kepemimpinan suatu wilayah.
“Karena Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, pemilih harus rela mempersilahkan Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri menunjuk pejabat sementera sampai Pilkada berikutnya menghasilkan pemimpin yang dipilih rakyatnya secara langsung,” pungkasnya.
Pewarta : Teuku Wildan
Artikel ini ditulis oleh:
Bawaan Situs