Jakarta, Aktual.com – Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz, menyatakan, selain terlambat dari target awal, materi legislasi Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum yang diserahkan Presiden ke DPR masih jauh dari harapan dan sangat membutuhkan penyempurnaan.
“Ibarat memperbaiki rumah, renovasi yang dilakukan belum mendasarkan dari kerusakan yang ada,” terang Hafidz, Senin (24/10).
Ia mencontohkan kelemahan RUU Pemilu menyangkut sistem Pemilu. Draft sistem Pemilu yang diajukan, RUU menyebutkan Pemilu legislatif dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas. Yaitu menggunakan daftar calon yang terbuka dan daftar nomor urut calon yang terikat berdasarkan penetapan partai politik.
Elemen sistem Pemilu lainnya dalam RUU tersebut menyebutkan, jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 560 dibagi dalam 78 daerah pemilihan dengan alokasi 3-10 kursi. Metode konversi suara menggunakan sainte lague modifikasi dimana suara Parpol dibagi pembilang 1,4; 3; 5; 7 dan seterusnya. Ambang batas perwakilan sebesar 3,5 persen untuk DPR.
Perubahan paling signifikan terjadi pada metode pemberian suara dan penentuan calon terpilih. Meskipun terdapat daftar calon, tetapi pemilih mencoblos gambar atau nomor urut partai. Perolehan siapa yang mendapatkan kursi berdasarkan nomor urut.
“Ketentuan ini seperti menjadi jalan tengah antara proporsional terbuka terbanyak dengan proporsional tertutup nomor urut,” jelasnya.
Akan tetapi jika diperhatikan lebih lanjut, kata Hafidz, sistem ini tak ubahnya proporsional tertutup nomor urut. Terbuka terbatas secara subtansial sesungguhnya tertutup. Seakan-akan terbuka, padahal tertutup. Kedaulatan pemilih dibuat seakan-akan partisipatoris. Jalan tengah yang diambil (terbuka terbatas) tetap membuat kehendak mayoritas pemilih terhalangi.
Selain sesungguhnya tertutup, pilihan sistem Pemilu terbuka terbatas juga tidak menjawab persoalan. Problem mendasar dalam sistem proporsional terbuka suara terbanyak yang menyebabkan parpol lemah dan meningkatkan politik transaksional jawabannya bukan dengan mengubah sistem tetapi dengan penegakan hukum yang kuat, efektif dan berwibawa serta prosedur pencalonan yang lebih baik.
Dengan tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka suara terbanyak, mewujudkan sistem penegakan hukum yang kuat serta mengatur proses pencalonan untuk membangun soliditas kepartaian maka harapan publik untuk mendapatkan proses Pemilu yang lebih adil dan berkualitas semakin terwujud.
“Ketentuan sistem Pemilu ini harus benar-benar menjadi perhatian DPR, selain untuk perbaikan Pemilu mendatang juga terkait nasib partai politik itu sendiri,” demikian Hafidz.
*Sumitro
Artikel ini ditulis oleh: