Anggota Komisi V DPR Damayanti Wisnu Putranti (kanan) dan sekretaris pribadi mantan anggota Komisi VII DPR Dewie Yasin Limpo, Rinelda Bandaso (kiri) berada dalam mobil tahanan seusai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Jumat (22/1). Damayanti diperiksa KPK terkait kasus suap proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bersama dua tersangka lainnya Dessy A Edwin dan Julia Prasetyarini dan Rinelda Bandaso menjalani pemeriksaan sebagai saksi kasus dugaan suap penganggaran proyek pembangunan pembangkit listrik mikro hidro tahun anggaran 2016 di Deiyai, Papua, dengan tersangka mantan anggota DPR Dewie Yasin Limpo. ANTARA FOTO/Reno Esnir/aww/16.

Jakarta, Aktual.com — Anggota Komisi V dari fraksi Partai Golkar Budi Supriyanto membantah menerima uang terkait proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

“Tidak, tidak ada (terima uang),” kata Budi usai diperiksa di KPK sebagai saksi kasus dugaan tindak pidana penerimaan hadiah atau janji oleh anggota DPR dalam proyek di Kementerian PUPR, Rabu (27/1).

Namun Budi enggan mengungkapkan isi pemeriksaannya tersebut. “Saya sudah sampaikan apa yang saya ketahui,” ujar Budi singkat.

KPK sejak Jumat (22/1) juga sudah mencegah ke luar negeri selama enam bulan terhadap Budi Supriyanto, dan Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa So Kok Seng alias Aseng dalam kasus ini. Namun rekannya, anggota Komisi V dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera Yudi Widiana Adia yang ruang kerjanya di DPR juga digeledah KPK tidak dicegah KPK.

Dalam perkara ini, KPK sudah menetapkan anggota Komisi V dari Fraksi PDI-Perjuangan Damayanti Wisnu Putranti, dan dua orang rekannya yaitu Julia Prasetyarini (UWI) dan Dessy A Edwin (DES) sebagai tersangka dugaan penerimaan suap masing-masing sebesar 33.000 dolar Singapura sehingga totalnya mencapai 99.000 dolar Singapura.

Atas perbuatan itu, ketiganya disangkakan pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Uang tersebut berasal dari Direktur PT WTU Abdul Khoir (AKH). Total komitmen Khoir adalah sebesar 404.000 dolar Singapura sebagai “fee” agar PT WTU mendapat proyek-proyek di bidang jasa konstruksi, yang dibiayai dana aspirasi DPR di provinsi Maluku yang dicairkan melalui Kementerian PUPR.

Pada 2016, di wilayah II Maluku yang meliputi Pulau Seram akan ada 19 paket pekerjaan yang terdiriatas 14 jalan dan lima jembatan dan masih dalam proses pelelangan.

Atas perbuatan tersebut, Abdul Khoir disangkakan pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Penyidik KPK saat ini sedang melakukan pendalaman aliran sisa uang 305.000 dolar Singapura termasuk mengembangkan kemungkinan tersangka lain dalam perkara ini.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu