“Sebenarnya sederhana menjelaskan situasi yang berkembang. Tabungan yang naik adalah kelas nasabah yang memiliki simpanan di atas Rp 5 miliar. Artinya ini kelas menengah atas khawatir pajak atas kekayaan mereka dikejar lagi oleh pemerintah. Akibatnya  angka penjualan durable goods seperti mobil dan sepeda motor anjlok. Dua item yang sering jadi tolok ukur dari konsumsi masyarakat. Sementara PPN memang naik karena pabrikan wajibkan distributor untuk tetap membeli (stockings) demi kejar target. Tetapi justru dari distributor ke retailers mandek karena penjualan lesu,” jelas dia.

Dalam situasi seperti ini terkesan jelas bahwa Menteri Keuangan, Sri Mulyani terlihat bingung dan belum mampu membawa ekonomi nasional keluar dari tekanan.

Kemudian, jika Sri Mulyani dikatakan sebagai menteri yang bingung oleh Gede Sandra, tetapi Menteri BUMN, Rini Soemarno dikatakan Menteri yang membingungkan.

“Menteri BUMN membingungkan kita. Bagaimana tidak, hanya terjadi di Indonesia ada menteri yang tetap bertahan walaupun sudah hampir dua tahun ditolak rapat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ia ditolak DPR karena dipandang terlibat dalam skandal perpanjangan kontrak JICT yang telah diaudit BPK dengan kesimpulan merugikan negara. Sementara kinerja beliau jelas biasa saja,” ungkapnya.

Adapun kebijakan Rini pada Tahun 2015 dan 2016 ia telah menyuntik 45 BUMN dengan dana Penyertaan Modal Negara (PMN) berturut-turut Rp 39,9 triliun dan Rp 44,5 triliun. Namun anehnya terdapat 24 BUMN yang merugi hingga  Rp5,8 triliun di tahun 2017.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka