Jakarta, Aktual.co — Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan perjanjian kerjasama pengelolaan air antara PAM Jaya dengan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta yang dibuat pada tahun 1997 dinyatakan batal demi hukum.

Putusan tersebut disambut baik oleh warga pengguna air di wilayah Tanjung Priok, Jakarta Utara. “Senang sekali, selama lebih dari tiga tahun kita nunggu ini,” ujar salah satu saksi penggugat Ella Sari, yang dihadirkan PN Jakpus, Rabu (25/3).

Selain Ella, seorang perwakilan warga penggugat Zubaidah juga menyambut gembira amar putusan tersebut. “Alhamdulilah kita menang,” ungkapnya.

Sejak 1997, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui PT Perusahaan Air Minum Jaya (PAM Jaya) melakukan kerja sama dengan dua perusahaan asing untuk mengelola air di Ibu Kota. Palyja mengelola air untuk wilayah Jakarta bagian barat. Sedangkan PT Aetra Air Jakarta ditunjuk untuk mengelola air di wilayah Jakarta bagian timur. Batas pengelolaan air oleh kedua perusahaan itu ialah Sungai Ciliwung.

KMMSAJ yang terdiri atas LBH Jakarta, ICW, KIARA, KRUHA, Solidaritas Perempuan, Koalisi Anti Utang, Walhi Jakarta, dan beberapa LSM lain mengajukan gugatan terhadap Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta, dan PT Perusahaan Air Minum Jaya serta PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Aetra Air Jakarta sebagai pihak turut tergugat. Gugatan diajukanpada 22 November 2012 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dalam sidang ini, majelis hakim juga membatalkan perjanjian kerja sama antara PAM Jaya dan Palyja. “Kami pun menyatakan perjanjian kerja sama yang dibuat Direktur PDAM DKI dengan PT Thames PAM Jaya (sekarang Aetra) yang dibuat pada 6 Juli 1997, dan diperbarui pada 28 Januari 1998, serta 22 Oktober 2001, beserta seluruh adendumnya batal dan tak berlaku,” ucap Iim.

Pihak tergugat diwajibkan mengembalikan pengelolaan air minum di DKI kepada pemerintah DKI, sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1992 dan perundangan lain. Namun majelis hakim menolak provisi yang dilayangkan KMMSAJ terhadap pihak tergugat. Provisi yang tersebut berupa permintaan agar hakim tak mengizinkan banding terhadap putusan sidang gugatan ini.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu