Sebelumnya, aktivis Sri Bintang Pamungkas mempersoalkan Pasal 40 UU Perbendaharaan Negara terkait adanya batasan kedaluwarsa terhadap hak tagih pembayaran pensiun bagi pegawai negeri.

Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara menyebutkan, “Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh Undang-Undang,”

Selama 37 tahun, Pemohon mengajar di Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan terhitung mulai bulan Juli 2010 menjadi pensiunan pegawai negeri sipil (PNS).

Saat pensiun, Sri Bintang belum memiliki Surat Keterangan Penghentian Pemberian Gaji (SKPP). Pada 6 Oktober 2016 Pemohon menyerahkan SKPP ke PT Taspen dan diperoleh perhitungan ada kekurangan 16 bulan dari 76 bulan pensiun yang seharusnya diterima.

Menurut ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara, masa berlaku maksimum pembayaran pensiun yang bisa dibayar kepada Bintang adalah 60 bulan. Hal ini mengakibatkan Sri Bintang menderita kerugian materiil yang nilainya sebesar 16 bulan pensiun yang seharusnya dapat diterima Pemohon.

Menurut Bintang, frasa “jatuh tempo” adalah istilah yang biasa dipakai manakala batas waktu yang diwajibkan perjanjian, misalnya perjanjian pembayaran utang atau piutang dinyatakan sudah habis, sedangkan tidak ada perjanjian apapun yang dibuat antara PNS dengan pemerintah, maka seharusnya frasa “jatuh tempo” dalam Pasal 40 UU Perbendaharaan Negara bertentangan dengan UUD 1945.

Laporan: Fadlan Syiam Butho

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby