Jakarta, Aktual.com – Pengamat ekonomi politik senior Ichsanuddin Noorsy menyebut, aksi unjuk rasa gerakan bela Islam II pada 4 November 2016 sebuah bentuk tekanan masyarakat Islam menolak Gubernur non aktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Sekaligus juga menolak Presiden Joko Widodo melindungi Ahok.
Pasalnya, kasus penistaan terhadap Al Qur’an surat Al Maidah 51 yang sudah dilakukan Ahok, merupakan pintu masuk penolakan yang sempurna. Karena kasus ini memenuhi syarat filosofis, sosiologis, dan yuridis formal (hukum yang berpijak pada dogma dan kekuatan berpikir rasional dan dibukukan, hukum positif).
“Apalagi memang, penolakan masyarakat itu bertentangan dengan transaksi politik yang sudah dilakukan partai politik (dengan mendukung Ahok). Pengertian transaksi ini berpijak pada teori pertukaran, apapun pertukaran itu,” ujar Ichsan dalam keterangan yang dikirim ke Aktual.com, Minggu (6/11).
Menurutnya, pertukaran tersebut bisa cita-cita atau kepentingan sesaat atau bisa juga kepentingan sesat walau tidak disadari. Singkatnya, pertukaran dalam pengertian ada pihak-pihak yang saling memberi dan menerima.
“Jadi, dalam model berpikir yang saya bangun sejak pemilu 2004, politik uang di pemilu legislatif akan melahirkan keterwakilan semu (false representative), karena suara diperoleh melalui transaksi finansial,”
Ada transaksi modal sosial, kata dia, lebih merupakan sarana untuk terjadinya pertukaran kekuasaan dengan finansial. Produk dari keterwakilan semu atau keterwakilan palsu ini adalah perwujudan otoritas semu. Ini juga terjadi pada pemilu eksekutif yang memenangkan Jokowi itu.
Otoritas semu ini, lanjut Ichsan, merujuk pada rendahnya bobot keterwakilan yang diindikasikan dengan tidak menjalankan, mengubah atau menolak aspirasi masyarakat luas.
“Sehingga dalam proses lebih lanjut, kebijakan publiknya membuahkan kepastaian semu. Itu tercermin pada keputusan pemerintah yang berbeda dengan kepentingan masyarakat. Atau sebagaimana banyak keputusan peradilan yang tidak mencerminkan rasa keadilan,” cetusnya.
Karena memang kondisi saat ini, tegasnya, berarti kepastian hukum hanya berlaku pada pihak tertentu. Keadilan hanya milik orang kaya. Keadilan yang ada terasa hambar dan tidak menghangatkan jiwa interaksi sosial.
Dan menurutnya, pergelaran menguatkan adanya transaksi politik itu terjadi pada perilaku politik Presiden Jokowi saat demonstrasi dua juta masyarakat Islam Sabtu, kemarin
“Sehingga mencuat sebutan pengecut, penakut, menghindar atau perilaku buruk lainnya muncul di media sosial untuk melukiskan sikap menolak Jokowi (yang kabur) atas tekanan masyarakat Islam menolak Ahok,” ujarnya.
Dengan kondisi itu, simpulnya menjadi, sikap masyarakat menolak Ahok disambut dengan sikap Presiden menolak tekanan masyarakat.
Padahal, sikap penolakan masyarakat itu tentu mempunyai alasan panjang. Perilaku arogannya Ahok, mulutnya yang kasar, kebijakan yang tidak adil, kebijakan anggaran yang off budgeter, dan banyak lagi yang lain. Yang terpenting adalah kasus Rumah Sakit Sumber Waras, kasus Reklamasi, dan kasus penistaan Al Maidah 51.
Sementara penolakan penguasa dan penegak hukum cums berpijak pada hukum formal dan diskresi. Artinya, penguasa dan penegak hukum menggunakan bukan lagi standar ganda, tapi sudah memakai standar yang aman dan nyaman bagi mereka (suitability standard).
Itu tercermin pada kata-kata Presiden yang memerintahkan Wapres, Menkopolhukam, Menag, Panglima TNI dan Kapolri untuk menjumpai perwakilan pengunjuk rasa.
“Sementara yang bersangkutan ksbur memeriksa proyek kereta api cepat Kota-Bandara Cengkareng. Jokowi menolak bisa jadi karena menyadari demonstrasi 4 Nopember ini pun mengarah ke posisi dirinya,” jelas Ichsanuddin.
Laporan: Busthomi
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby