Jakarta, Aktual.com — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyayangkan keputusan direksi PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II terkait dengan kenaikan tarif progresif karena hal itu bakal lebih membebani usaha sektor jasa pengguna pelabuhan.

“Beban biaya tarif progresif ini jelas akan dirasakan pengguna jasa, bukan penyedia jasa,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Logistik dan Pengelolaan Rantai Pasokan, Rico Rustombi, dalam siaran pers di Jakarta, Senin (14/3).

Menurut dia, keputusan tersebut bakal menjadi beban karena perhitungan pengenaan tarif progresif 900 persen sudah diberlakukan pada hari kedua setelah kapal sandar di pelabuhan, sementara pekerjaan bongkar muat peti kemas dilakukan oleh pihak Pelindo dan memerlukan waktu sekitar 4-5 jam.

Sementara rata-rata waktu kedatangan kapal, lanjutnya, adalah pada pukul 10-11 malam, sedangkan lewat jam 12 malam sudah di kenakan tarif progresif.

Rico menambahkan bahwa keputusan tersebut tidak rasional, karena sebagai pembanding di sejumlah negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, perhitungan “dwelling time” (waktu tunggu kapal) dihitung sejak selesai bongkar kapal dan bukan sejak sandar kapal.

Keputusan tersebut, tegas Rico, jelas bertentangan dengan Permenhub No. 117/2015 tentang relokasi barang/peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok menegaskan setiap pemilik barang/kuasanya wajib memindahkan barang yang melewati batas waktu penumpukan selama tiga hari dari lini satu pelabuhan atau terminal dengan biaya ditanggung oleh pemilik barang.

“Pelindo II harus memahami tahapan hambatan yang perlu di benahi yaitu di level pre-clearance masih mengkontribusi 2,7 hari. Custom clearance dan post clearance tidak terlalu signifikan menjadi hambatan namun di yakini masih bisa di tingkatkan,” katanya.

Jadi seharusnya, ujar dia, keputusan Pelindo II untuk tarif progresif harus mengacu kepada regulasi manajemen pelabuhan yang sudah ada dan harus disinergikan agar dwelling time bisa diturunkan.

Kadin sependapat dan mendukung inisatif pemerintah untuk memasukkan pihak yang memiliki kewenangan atas barang larangan atau pembatasan, dan izin impor dalam paket kebijakan ekonomi selanjutnya.

“Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro juga senada dengan Kadin bahwa pre-clearence sendiri setidaknya melibatkan banyak kementerian seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perikanan dan Kelautan, Sucofindo, serta Direktur Jendral Bea Cukai untuk mengurus lartas dan izin impor,” kata Waketum Kadin.

Seharusnya, lanjutnya, pada level pre-clearance inilah seharusnya Pelindo II mau berkoordinasi dalam mengurus manajamen pelabuhan dengan pihak-pihak yang terkait tersebut.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Eka