Pekanbaru, Aktual.com- Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau Ma’mun Murod mengatakan luas gambut di Riau saat ini mencapai 4,9 juta hektar atau 64 persen dari total luasan lahan di Riau, dengan lahan gambut seluas itu akan sulit melakukan pengendalian jika sudah terjadi Karhutla.
“Karena lahan gambut Riau sangat luas itu, dan jika terjadi Karhutla di lahan gambut membutuhkan waktu yang lama, dan biaya yang besar, baik untuk penanganan hingga pemulihan fungsi gambut tersebut,” kata Mamun Murod di Pekanbaru, Jumat (6/8/21) kemarin.
Dia mengatakan, bahwa pertanyaan yang sering diterimanya adalah saat ini sudah ada BRGM (Badan Restorasi Gambut dan Mangrove) tapi kenapa kebakaran masih terjadi? Karena memang luasan lahan gambut di Riau sangat luas sehingga upaya pencegahan dan penanganan juga harus lebih kuat lagi.
Karena itu perlu berbagai upaya untuk lebih memaksimalkan pencegahan karhutla di Provinsi Riau, misalnya pertama, optimalisasi fungsi sekat kanal, sumur bor dengan sistem silvo fishery(pembuatan tambak di lahan gambut) di sekat kanal.
“Upaya lainnya yakni beberapa daerah menjadikan kanal sebagai jalur transportasi sehingga perlu dipikirkan jenis sekat kanal yang dibangun cocok. Untuk kondisi ini dilakukan dengan sistem buka tutup,” ujarnya.
Ketiga, katanya, sekat kanal yang sudah dibangun di Riau pada tahun 2017-2018, sudah banyak yang rusak, sehingga perlu perbaikan dengan pembangunan sekat kanal permanen. Sekat kanal sangat ampuh dalam upaya pencegahan Karhutla.
Pentingnya dibangun sekat kanal itu, katanya, berdasarkan studi kasus di Desa Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, dimana sebelum sekat kanal dilakukan, hampir setiap tahun terjadi Karhutla di daerah tersebut namun sejak dibangunnya sekat kanal tak muncul lagi Karhutla.
“Keuntungan lain, dengan terjaganya kadar air di lahan gambut di daerah itu, telah meningkatkan produktivitas panen sagu masyarakat. Karena itu upaya penanganan Karhutla di Provinsi Riau memang harus dilakukan secara ekstra. Meskipun dalam upaya penanganan ini sudah melibatkan banyak pihak,” katanya.
Dia menambahkan, saat ini di Riau sudah ada 59 kawasan hidrologis gambut atau KHG yang masuk dalam daftar intervensi. Dari jumlah tersebut, baru 16 KHG yang masuk dalam intervensi oleh BRG. Di Riau masih banyak KHG yang membutuhkan tindakan intervensi untuk pemulihan gambut agar berfungsi sebagaimana mestinya.
Masalah lain yang juga menjadi faktor penyebab munculnya Karhutla di Provinsi Riau, yakni letak antara Riau dengan Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan dalam beberapa kasus, adanya tekanan- tekanan dari pendatang ilegal untuk menguasai suatu kawasan.
“Kasus ini sudah terjadi di Kabupaten Rokan Hulu. Ada indikasi dari sekelompok masyarakat untuk coba-coba (membakar lahan) sehingga diharapkan itu bisa dijadikan keterlanjuran. Dengan demikian, mereka bisa membangun kebun yang baru. Di Riau untuk sekarang indikasi keterlanjuran sudah tidak ditolerir lagi. Inilah salah satu persoalan yang kami hadapi di lapangan,” papar Mamun Murod.
Pada tahun 2021, Riau mendapat dukungan dana dari BRGM sebesar Rp18,3 miliar. Jumlah ini jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, meningkat signifikan sebesar Rp3 miliar, dan diharapkan jumlahnya akan terus naik di tahun 2022, dengan luasan KHG yang menjadi sasaran intervensi juga bertambah.
“Seperti yang kita ketahui, bahwa Karhutla yang terjadi selama ini didominasi oleh faktor manusia, meskipun perubahan iklim juga memberikan kontribusi terhadap potensi munculnya Karhutla, khususnya di Provinsi Riau,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Arie Saputra