Dalam aksinya ratusan karyawan PT Freeport Indonesia (FI) menuntut pemerintah agar tidak memaksakan perubahan Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Khusus Pertambangan (IUPK). Sebagian besar karyawan FPI mengenakan seragam tambang, sebagian lagi mengenakan pakaian adat khas Papua. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Anggota Majelis Nasional KAHMI, Lukman Malanuang menyoroti kegagalan Freeport dalam membangun rakyat Papua kendati sudah 50 tahun mengeruk kekayaan alam di bumi Indonesia bagian timur itu.

Terbukti dari indeks pembangunan manusia (IPM), menempatkan Papua pada peringkat terendah dari rata-rata pembangunan manusia di Indonesia.

“Indeks pembangunan manusua di Papua no 33 paling buncit se Indonesia, artinya Freeport tidak memberikan dampak signifikan bagi rakyat setempat,” kata Lukman di Jakarta, Selasa (7/3).

Kemudian dari aspek ekonomi, tidak terjadi multiplier efek, sebab lokasi sosial yang dibangun oleh Freeport terisolir (enclave) dari masyarakat setempat.

Tak hanya itu, untuk suplai kebutuhan konsumsi pekerja Freeport, semuanya dilakukan secara tender, dan pada umumnya kontrak suplai kebutuhan pekerja Freeport tersebut bukan dipegang pengusaha lokal.

“Efek ekonomi, makanan dan semua kebutuhan berdasarkan kontrak yang dimiliki oleh pengusaha luar. Jadi potensi konflik sosialnya sangat tinggi. Terjadi enclave disitu,” ujarnya.

Yang juga tak kalah penting tambahnya, keberadaan Freeport telah merusak lingkungan secara masif atas aktifitas pengelolaan eksploitasi sumber daya alam tersebut.

(Laporan: Dadangsah Dapunta)

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka