Jakarta, aktual.com – Syekh Abdul Qadir Al Jilani rahimahullahu berkata: “Apabila kedirian seorang hamba Allah telah lenyap (sebab sudah musyahadah kepada Allah) sehingga tidak lagi memikirkan mahluk, hawa nafsu, kedirian, kehendak dan keinginannya, baik mengenai keduniaan maupun keakhiratan dari dalam hatinya, maka ia tidak akan menghendaki apa-apa lagi selain Allah. Hatinya kosong dari apa saja selain Allah. Setelah itu, barulah ia wushul kepada Allah Tuhan Yang Maha Tinggi. Ia mencintai Allah dan Allah pun mencintainya. Allah menjadikan seluruh mahluk mencintai hamba itu pula. Kecintaan hamba dalam kondisi ini hanya ditujukan kepada Allah (secara hakikatnya) dan ia menginginkan kedekatan kepada Allah. Allah akan membukakan pintu rahmat-Nya bagi hamba itu dan pintu itu tidak lagi tertutup baginya.”

Kondisi yang demikian pun tidak lepas dari ujian Allah (Anwa’ul Balaaya), sehingga hamba tersebut dituntut untuk terus berpasrah diri kepada Allah atas segala permasalahan dan kejadian yang terjadi pada dirinya.

Kalimat Hawqalah (Laa Haula Wa laa Quwwata Illa Billah) jika diresapi dengan penuh penghayatan dan kesadaran dalam pengalamannya bisa menghantarkan hamba tersebut menuju maqam Fana.

Dalam proses menuju fana, seorang hamba juga harus bersikap datar/flat, dalam artian tidak sedih ketika mendapat ujian/musibah dan tidak senang berlebihan ketika mendapat pujian dan kenikmatan. Karena dia meyakini bahwa musibah dan kenikmatan adalah ujian dari Allah, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Al Mulk:2).

Jika seorang hamba masih silau dengan kenikmatan dan pujian serta gusar ketika mendapat musibah, maka ia akan kesulitan merasakan kelezatan berdzikir kepada Allah.

Orang yang sungguh-sungguh berjalan menuju Allah dengan istiqomah melakukan apa yang diwasiatkan gurunya maka akan mendapat hidayah Allah.

وَٱلَّذِینَ جَـٰهَدُوا۟ فِینَا لَنَهۡدِیَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِینَ

Orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat kebaikan.[Surat Al-Ankabut: 69]

Tapi, hati-hatilah setan juga masih menggoda dan mengganggu hamba tersebut dengan fana yang ilutif (penuh tipuan).

Sebagai murid/salik, bukan meninggalkan dunia secara utuh. Tapi bagaimana bisa tetap profesional dalam duniawi tanpa bergantung hatinya pada dunia atau harta benda. Hal yang demikian bisa terwujud dengan bimbingan guru dan konsisten dzikir.

Sambungkanlah dirimu dengan Gurumu dengan meninggalkan ego dan kedirianmu. insya Allah gurumu akan menghantarkan menuju hadhrah Rasullullah shallallahu alaihi wasallam.

Seorang tidak akan bisa merasakan kemurnian dalam Ibadah kepada Allah jika masih ada iradah/keinginan terhadap sesuatu selain Allah (ingin surga, pangkat, derajat, dll). Dengan adanya ujian yg silih berganti semestinya menjadikan dirimu hanya fokus berharap kepada Allah.

Islam memberi tuntunan dalam langkah gerak kita mulai dari bangun tidur hingga menuju tidur lagi dengan berbagai doa dan adab. Jika doa tersebut dihayati dan diresapi dengan betul, akan menambah keyakinan seorang hamba akan kekuasaan Allah dan kelemahan diri hamba tersebut, sehingga melahirkan sifat tidak sombong, penuh syukur dan ikhlas dalam menjalani rangkaian ibadah serta menghadirkan Allah dalam gerak-geriknya.

Lalu bagaimana dengan maksiat yang dilakukan oleh manusia, apakah itu kehendak Allah?

Allah menghendaki kebaikan dan keburukan, tapi ridho Allah hanya pada hal-hal yang baik. Sebab segala aktivitas manusia baik taat maupun maksiat itu diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَٱللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Artinya: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. [Ash-Shaffat:96]

Sehingga ketika kita melihat orang yang bermaksiat, kita dianjurkan untuk mendoakannya agar mendapat hidayah dari Allah bukan mencaci nya dan merasa diri paling taat dan suci.

Jika ada seorang guru mengajarkan sesuatu yang keluar dari koridor syariat dengan mengatasnamakan ma’rifat dan hakikat, tanpa pelaksanaan syariat yang benar dan memegang teguh Al Quran dan Sunnah, maka guru tersebut batal (tidak bisa dijadikan sebagai guru pendamping/mursyid).

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain