Jakarta, Aktual.com — Beberapa hari yang lalu Presiden RI Joko Widodo melakukan pergantian beberapa Menteri pada pemerintahan yang dipimpinnya.
Tak tanggung-tanggung tiga menteri setingkat menko yang diganti: Menko Perekonomian, Menteri Politik Hukum dan Keamanan, dan Menko Kemaritiman. Selain itu, Menteri Perencanaan Nasional dan Kepala Bappenas, Menteri Perdagangan, dan Sekretaris Kabinet.
Hanya Sofyan Djalil yang berpindah posisi dari Menko Perekonomian ke Kementerian Perencanaan Nasional dan Kepala Bappenas. Selebihnya diganti.
Tertangkap publik, ini pergantian tim inti Kabinet Kerja pasangan Presiden Jokowi dan Wapres Muhammad Jusuf Kalla. Namun, pasar masih datar meresponsnya. Semua menanti gebrakan dan terobosan baru, bukan semata figur-figur baru.
Pergantian itu telah membuat gaduh publik beberapa bulan sebelumnya lantaran para menteri yang diganti belum bekerja selama setahun.
Dua hari pascapergantian, seorang Pemred sebuah harian media cetak menyorot tentang ihwal pergantian Menteri Perdagangan, misalnya. Pada bagian akhir kolomnya ditutup dengan kalimat: “Terlalu banyak menteri yang lebih layak dicopot, tetapi Gobel tidak punya daya politik. Itulah makna ‘reshuffle’ kali ini.” Apa yang salah? Hingga saat ini publik tak mengetahui alasan pergantian itu. Saat melantik para menteri baru pun, Presiden Jokowi tak menjelaskan apa-apa.
Baru pada Pidato Kenegaraan Presiden di Sidang Paripurna MPR RI pada tanggal 14 Agustus 2015, Presiden menegaskan bahwa ‘reshuffle’ dilakukan untuk meningkatkan kinerja Pemerintah guna percepatan pembangunan nasional.
Belum ada rapor yang dapat menjadi indikator kinerja pemerintahan yang dapat diakses publik.
Penulis tidak mengetahui apakah ada “review” kinerja yang dilakukan antara Presiden dan para menteri secara terjadwal, tiga bulan atau enam bulanan. Atau, setidaknya antarmenko dengan para menterinya. Semua pertanyaan berhenti dengan jawaban: “Hak prerogatif Presiden.” Tulisan ini berfokus pada manajemen, bukan soal politik.
Nampaknya, ada pekerjaan rumah pemerintahan Jokowi-JK yang belum selesai, yakni menuntaskan indikator kinerja pemerintahan dan laporan kemajuan berbasis indikator kinerja itu kepada rakyat. Keduanya penting untuk menguatkan eksekusi strategi yang diusung pemerintahan.
Memuliakan Rakyat Presiden menegaskan dalam Pidato Kenegaraan lalu: “Kita sedang berperang. Perang ini bukan fisik, melainkan perang untuk memenangi perdamaian, kesejahteraan, dan kehidupan rakyat bahagia.” Ia menekankan, “Kemenangan perang untuk memuliakan rakyat.” Apakah semua Menteri merasa sedang “berperang” seperti dinyatakan Presiden? Siapa sebenarnya musuh kita? Apakah kekacuan, kemiskinan, kehidupan yang tak membahagiakan telah menjadi musuh kita bersama? Ketiganya telah menajdi musuh para menteri? Musuh seluruh pimpinan lembaga tinggi negara? Musuh rakyat Indonesia? Sejauh mana “ownership” kita semua terhadap “sense of crisis” yang sedang dibangun Presiden Jokowi, kita sebagai sebuah bangsa.
Bagaimana agar kita semua bersatu untuk menghadapinya, berperang bersama dengan berbagi tanggung jawab dan peran pada berbagai pertempuran.
Visi Nawacita pasangan Jokowi-JK yang disampaikan ke KPU setahun lalu bertema “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong” terdapat empat kata kunci yang perlu terjemahan lebih operasional: berdaulat, mandiri, berkeperibadian, dan gotong royong.
Hal itu pun diulang kembali pada Pidato Kenegaraan dan Pidato Pengantar Nota Keuangan 2015, yang berusaha menerjemahkan janji Pilpres 2014 itu.
Terdapat sembilan agenda pemerintahan: (i) menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara; (ii) membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.
Agenda lainnya, adalah: (v) meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; (vi) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; (vii) mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik; (viii) melakukan revoluasi karakter bangsa; dan (ix) memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
Semua visi dan agenda besar itu tampaknya sedang diterjemahkan secara operasional oleh Jokowi-JK seperti terlihat pada postur RAPBN 2016 yang disampaikan.
Kini, publik dapat menilainya apakah postur APBN 2016 telah memenuhi janji Nawacita atau sebaliknya. Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) pertama yang disusun pemerintahan Jokowi-JK.
Sebagai contoh, janji membangun Indonesia dari pinggiran, dari daerah dan desa, apakah empat perubahan dalam memastikan pemihakan terhadap daerah dan desa dengan cara: (i) meningkatkan alokasi anggaran transfer ke daerah dan dana desa sehingga lebih besar daripada anggaran belanja kementerian/lembaga; (ii) perubahan struktur dan ruang lingkup transfer ke daerah dan dana desa agar lebih sesuai dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan kebutuhan pendanaan pembangunan daerah.
Contoh lain, sejauh mana alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur yang telah ditingkatkan menjadi Rp313,5 triliun, 8 persen dari RAPBN 2016, dapat dikawal dan dieksekusi dengan benar dan efektif, termasuk pelibatan BUMN dan dunia usaha di dalamnya kelak.
Soal pergeseran pengeluaran konsumtif ke produktif, subsidi lebih tepat sasaran, kedaulatan pangan dan energi, dan lain-lain yang menunjukkan keinginan untuk berbeda pendekatan strategis dibandingkan pemerintahan sebelumnya.
Semua pendekatan strategi itu, selain memerlukan keselarasan (alignment) vertikal dari komitmen Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla dengan prioritas-prioritas seluruh anggota kabinetnya, juga keselarasan horizontal antarkementerian agar semua prioritas kementerian efektif dijalankan. Menghindari egosektoral, tumpang-tindih, dan kebocoran anggaran.
Presiden memerlukan komitmen dan disiplin Menko dan para Menteri teknis yang efektif untuk menjalankan prioritas dan mengatasi berbagai persoalan egosektoral yang sering menjadi penyakit akut di lembaga pemerintahan selama ini.
Untuk mengatasi kesenjangan antara strategi dan eksekusi di atas, komitmen dan disiplin pemerintahan Jokowi-JK diperlukan untuk mengatasi berbagai hambatan dalam eksekusi strategi, di antaranya hambatan: visi, sumber daya manusia, sumber daya lainya, termasuk alokasi anggaran, dan manajerial.
Pada kunjungannya ke Jakarta, Robert Kaplan–penulis Execution Premium (2008) bersama Richard Norton mengutip hasil riset yang menarik tentang hambatan eksekusi strategi, di antaranya hanya 5 persen anggota organisasi memahami visi atau destinasi organisasi (hambatan visi).
Selanjutnya, terdapat 60 persen sumber daya organisasi tidak nyambung dengan strategi yang dipilih organisasi (hambatan sumber daya), dan 86 persen pimpinan rata-rata kurang dari 1 jam memikirkan capaian dan strategi organisasi (hambatan manajemen).
Penulis belum melakukan survei sejenis dalam praktik manajemen organisasional di Indonesia, terlebih lagi dalam manajemen pemerintahan.
Terlihat, ada pemihakan pemerintahan Jokowi-JK dalam postur RAPBN 2016 terhadap desa dan rakyat di desa. Bagaimana mencapainya, cerita yang berbeda.
Pekerjaan eksekusi strategi memerlukan komitmen kuat Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla untuk menjalankannya, didukung tim Kabinet Kerja yang lebih kuat dan kompak.
Sayangnya, “reshuffle” baru-baru ini mengirim pesan yang berbeda karena ketidakjelasan indikator kinerja pemerintahan dan ketidakjelasan komunikasi pemerintahan.
Bila mengutip tulisan sang pemred di atas, seorang menteri yang memilih melawan “mafia” daging dan miras, malah diganti belum setahun bekerja.
Rakyat menenti eksekusi strategi ala Presiden Jokowi. Masih ada empat tahun lebih usia pemerintahan Jokowi-JK. Semoga tak melakukan hal fatal yang justru mengkhianati Trisakti dan Nawacita itu sendiri. Semoga. (Sumber: A Mukhlis Yusuf, Executive Coach Rumah Perubahan dan Strategic Actions)
Artikel ini ditulis oleh: