Jakarta, aktual.com – Puasa yang kita jalani hari ini diharapkan dapat meningkat kualitasnya, dari puasa orang awam menuju puasa orang khusus, dan dari puasa orang khusus menuju puasa yang lebih istimewa. Pembagian tingkatan puasa ini telah dijelaskan secara jelas oleh Hujjatul Islam, Imam Ghazali RA dalam Bidayatul Hidayah dan Ihya Ulumiddin.

Pada kesempatan kali ini, kita akan mendalami hikmah dari Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari dalam Al-Hikam:

مَا قَلَّ عَمَلٌ بَرَزَ مِنْ قَلْبٍ زَاهِدٍ وَ لَا كَثُرَ عَمَلٌ بَرَزَ مِنْ قَلْبٍ رَاغِبٍ.

“Tidak disebut sedikit amal yang bersumber dari qalbu yang zuhud. Dan tidak dapat disebut banyak amal yang bersumber dari qalbu yang tamak.”

Syekh Ibnu Atha’illah menjelaskan bahwa amal yang dilakukan dengan hati yang zuhud tidak bisa dikatakan sedikit, walaupun secara lahiriah tampak sederhana. Sebaliknya, amal yang muncul dari hati yang tamak tidak dapat disebut banyak, meskipun tampak berlimpah. Hal ini karena amal orang zuhud terbebas dari riya’ dan keinginan untuk dipuji, serta tidak didasari oleh ambisi duniawi. Sementara itu, amal orang yang tamak seringkali terkontaminasi oleh keinginan duniawi dan berpaling dari Allah.

Sebagai contoh, kita dapat mengambil pelajaran dari kisah Imam Syafi’i saat berkunjung ke rumah muridnya, Imam Ahmad bin Hanbal. Ketika dijamu makan malam, Imam Syafi’i makan dengan lahap, yang membuat putri Imam Ahmad terkejut. Ia berpikir bahwa Imam Syafi’i adalah sosok yang biasanya makan dengan sangat sedikit. Setelah makan, Imam Syafi’i beristirahat hingga subuh tanpa menghidupkan malam dengan shalat dan zikir, yang semakin membuat putri Imam Ahmad heran.

Setelah fajar menyingsing, ia pun bertanya kepada ayahnya, “Ayah, apakah ini sosok yang engkau idolakan? Saat makan malam, ia makan banyak, lalu tidur sepanjang malam tanpa shalat dan zikir, serta langsung shalat subuh tanpa berwudhu kembali.”

Menanggapi pertanyaan ini, Imam Syafi’i menjelaskan, “Aku makan dengan lahap karena aku tahu makananmu halal dan berasal dari tangan orang yang dermawan.”

طعام الكريم دواء وطعام البخيل داء

“Makanan orang dermawan (yang halal) adalah obat, sementara makanan orang kikir dapat menimbulkan penyakit.”

Imam Syafi’i menambahkan bahwa sepanjang malam ia sibuk memecahkan 100 permasalahan fiqih, sehingga tidak sempat melaksanakan shalat sunnah. Mengenai shalat subuh tanpa berwudhu, ia menegaskan bahwa dirinya tidak tidur sepanjang malam, sehingga wudhunya dari shalat Isya’ belum batal. Mendengar hal ini, Imam Ahmad pun berkata kepada putrinya, “Apa yang beliau lakukan dalam diamnya lebih mulia dari apa yang aku lakukan dalam keadaan terjaga.”

Pelajaran dari kisah ini mengajarkan kita bahwa kualitas amal bukanlah diukur dari kuantitasnya, melainkan dari kedalaman maknanya dan ketulusan niatnya. Seperti yang terlihat dalam kisah Urwah bin Zubair, yang tetap khusyuk dalam shalat meskipun kakinya sedang diamputasi. Ketika seseorang benar-benar merasakan manisnya ibadah, rasa sakit dan gangguan duniawi pun akan terlupakan.

Namun, meskipun dalam dzikir kita masih terdapat kelalaian, jangan sampai kita meninggalkannya sama sekali. Sebagaimana pesan Syekh Ibnu Atha’illah:

“Jangan tinggalkan dzikir karena kelalaian hatimu yang tidak bersama Allah. Karena kelalaian tanpa dzikir lebih buruk daripada kelalaian dengan dzikir. Bisa jadi Allah mengangkatmu dari dzikir dengan kelalaian ke dzikir dengan hati yang terjaga, dari dzikir dengan hati yang terjaga ke dzikir dengan hati yang waspada, dari dzikir dengan hati yang waspada ke dzikir fana.”

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain