Mesjid Jogokariyan (Foto: Istimewa)
Mesjid Jogokariyan (Foto: Istimewa)

Jakarta, Akutal,com – Sudah bukan rahasia lagi, shalat subuh di banyak masjid di Tanah Air hanya diikuti oleh segelintir jamaah. Namun, tidak demikian halnya dengan sebuah masjid kampung di Kota Yogyakarta.

Jika Anda kebetulan sedang berkunjung ke kota bersejarah yang menjadi ibu kota Provinsi DI Yogyakarta ini dan ingin merasakan langsung nikmatnya shalat subuh berjamaah seramai shalat Jumat, mampirlah ke Masjid Jogokariyan.

Di masjid Kampung Jogokariyan yang berjarak kurang dari setengah jam dengan kendaraan dari ikon wisata ternama Malioboro itu, Anda pasti menyaksikan realitas yang berbeda. Jamaah yang berjumlah ratusan orang memenuhi saf-saf yang ada di ruang utama maupun di pelataran kanan-kiri-dan belakang masjid.

Setidaknya, itulah yang bisa Anda saksikan tatkala berkesempatan menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid yang berdiri di tengah perkampungan Jogokariyan sejak setengah abad silam itu pada Kamis (13/10) dan Jumat (14/10) pagi.

Sekitar 20 menit sebelum muazzin mengumandangkan azan pada pukul 04.01 WIB, sejumlah pria yang umumnya berkain sarung dan berbaju koko telah tiba di ruang utama masjid yang terletak di Jalan Jogokariyan Nomor 36, Mantrijeron, Kota Yogyakarta, ini.

Mereka yang terlebih dahulu tiba di masjid berlantai tiga yang berdiri sejak 1966 itu umumnya adalah warga setempat atau pendatang dari luar Kota Yogyakarta yang menginap di 11 kamar milik masjid yang disewakan kepada umum.

Beberapa menit sebelum dan setelah azan dikumandangkan, jamaah lain berduyun-duyun datang ke masjid baik dengan berjalan kaki maupun berkendaraan sepeda motor.

Sudah menjadi pemandangan biasa di pagi subuh, puluhan perempuan bermukena putih berjalan kaki menuju masjid dari rumah-rumah mereka.

Keramaian shalat subuh berjamaah di Masjid Jogokariyan itu semakin bertambah ketika pada Jumat subuh, rombongan Pemerintah Kota Salahlunto, Provinsi Sumatera Barat, berjumlah 104 orang, turut meramaikan shalat subuh di masjid tersebut.

Seperti lazim ditemui di masjid-masjid lain, setelah muazzin mengumandangkan azan, jamaah masjid yang berdiri di tengah perkampungan berpenduduk 907 kepala keluarga atau 2.973 jiwa ini juga masih berkesempatan mendirikan shalat sunnah untuk beberapa menit.

Setelah itu, muazzin mengumandangkan iqomah (panggilan kedua untuk shalat).

Pada Kamis pagi itu, yang bertindak sebagai imam adalah Salim A. Fillah, ustadz muda yang terkenal dengan ceramah-ceramahnya tentang Sirah Nabawiyah (sejarah Nabi Muhammad SAW) dan buku-buku Islami karyanya.

Seusai mengimami shalat yang turut diikuti Ketua Dewan Suro Takmir Masjid Jogokariyan HM Jazir ASP itu, penulis buku “Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan” (2003) ini mengisi kuliah subuh sekitar 15 menit.

Dalam kuliah subuhnya itu, ustadz kelahiran Yogyakarta 21 Maret 1984 ini menyampaikan kisah umrah dan haji Nabi Muhammad SAW serta pelajaran yang dapat diambil bagi kebaikan umat Muslim Indonesia yang hendak berhaji.

Seusai memberi kuliah subuh pada Kamis pagi itu, Salim A. Fillah segera diserbu sejumlah anggota jamaah untuk bersalaman. Di antara mereka itu adalah Aziz Cahya, warga Condet, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur, yang menyalami Salim dan memintanya berfoto bersama.

Pemuda berusia 30 tahun ini mengatakan suasana shalat subuh berjamaah yang ramai seperti shalat Jumat di Masjid Jogokariyan ini sudah dirasakannya sejak menginap di kamar sewa milik masjid.

“Saya sudah tahu tahu lama tentang masjid ini tapi baru pertama kali tahu kalau masjid ini punya kamar yang disewakan. Saya lalu memutuskan untuk menginap di kamar sewa milik masjid yang dilengkapi pendingin ruangan, televisi, kasur besar, dan kamar mandi berair panas ini dengan harga Rp150 ribu per malam,” katanya.

Sejak menginap di kamar sewa milik masjid dari Senin (10/10) sampai Kamis (13/10), dia mendapati suasana yang ramai seperti shalat Jumat setiap kali mendirikan shalat subuh di masjid yang menyandang predikat juara Lomba Masjid Besar Percontohan Daerah Istimewa Yogyakarta ini.

Keberhasilan pengurus Masjid Jogokariyan dalam gerakan shalat subuh berjamaah dan manajemen masjidnya ini menginspirasi komunitas Muslim dari luar Yogyakarta untuk menimba ilmu dan pengalaman.

Seperti dapat dilihat dari papan informasi yang terpampang di dinding dekat kantor sekretariat masjid, terlihat jadwal tamu-tamu dari luar kota yang berkunjung untuk melakukan studi banding tentang manajemen masjid dari para pengurus Masjid Jogokariyan ini.

Pada 4 Oktober, misalnya, masjid ini kedatangan 40 orang tamu dari rombongan Universitas Darussalam Gontor yang ingin melakukan studi banding.

Pada 6 Oktober, masjid ini menerima 40 orang tamu dari MT Az Zahroh, Tulungagung, dan 22 orang tamu dari Al Ukhuwah Bandung.

Berselang dua hari setelah kedatangan tamu dari Tulungagung dan Bandung itu, Masjid Jogokariyan yang memiliki imam-imam shalat berusia muda berlatar pendidikan sarjana dari universitas terbaik di Yogyakarta itu kembali menerima kunjungan dari pengurus Musholla At Taqwa, Sukoharjo.

Pada 14 Oktober pagi, giliran 104 anggota delegasi Pemerintah Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat, yang terdiri atas para camat, kepala desa, pengurus forum remaja masjid dan perangkat desa yang berkunjung ke masjid itu.

Rombongan dari Sumatera Barat yang dipimpin Sekretaris Daerah Kota Sawahlunto Rovanly Abdams itu diterima langsung Ketua Dewan Suro Takmir Masjid Jogokariyan HM Jazir ASP yang memberi pemaparan materi tentang manajemen masjid berdasarkan pengalaman nyata pengurus Masjid Jogokariyan.

Dalam sambutannya, Sekretaris Daerah Kota Sawahlunto Rovanly Abdams mengatakan kunjungan pihaknya ke Masjid Jogokariyan ini tidak hanya dimaksudkan untuk menggali ilmu dan pengalaman manajemen masjid tetapi juga bagaimana masjid ini berhasil dalam gerakan subuh berjamaahnya.

“Kita sudah me-‘launching’ (meresmikan) gerakan subuh berjamaah di masjid-masjid Sawahlunto dan kami mau belajar dari pengalaman Masjid Jogokariyan ini,” katanya.

Kepala Desa Talawi Mudik Erizon mengatakan pemaparan Ketua Dewan Suro Takmir Masjid Jogokariyan HM Jazir ASP tentang manajemen masjid yang terbukti mampu memberdayakan masyarakat sekitar telah menginsiprasinya untuk melakukan hal sama di masjid dan surau di desanya.

Buah dari Proses Panjang

Penuhnya saf-saf Masjid Jogokariyan pada waktu shalat subuh seperti sekarang ini tidak terjadi dengan sendirinya. Sebaliknya, realitas yang telah menginspirasi banyak komunitas Muslim dari luar Yogyakarta itu merupakan buah dari proses panjang pembinaan dan pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar masjid.

Ketua Dewan Suro Takmir Masjid Jogokariyan HM Jazir ASP menceritakan bahwa penataan masjid yang kini dijadikan model pemberantasan kemiskinan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini dimulai pada 1999.

Sebagai ketua umum takmir masjid yang dipilih langsung warga masyarakat ketika itu, dia bersama pengurus lainnya mulai menata manajemen dengan melakukan pendataan profil jamaah masjid guna mengetahui siapa saja yang sudah shalat dan yang belum shalat serta bagaimana kondisi kehidupan mereka.

Setelah proses pendataan warga Kampung Jogokariyan melalui sensus masjid tersebut rampung, dibuatlah peta dakwah dan ditetapkan pula visi, misi, dan rencana skenario lima tahun ke depan.

Berdasarkan data kependudukan dari hasil sensus masjid tersebut, pengurus mengetahui persis rumah-rumah warga yang belum mendirikan shalat. Mereka ini kemudian diberi pembinaan secara langsung di rumah-rumah mereka sehingga mereka tahu dan mau mendirikan shalat.

Untuk memenuhi kebutuhan mereka akan perlengkapan shalat, para pengurus masjid pun mencarikan para donator yang mau menyumbang. Langkah ini berhasil menurunkan jumlah warga yang tidak shalat dimana pada 2009, jumlahnya tinggal 27 orang, kata Jazir.

Melalui peta dakwah itu pula, basis data kependudukan Kampung Jogokariyan yang dimiliki pengurus masjid jauh lebih lengkap dari data yang dimiliki kelurahan karena pengurus Masjid Jogokariyan melakukan sensus masjid dua kali dalam setahun supaya mereka mengetahui persis kondisi jamaahnya.

Dari hasil studi pengurus tentang semua hal yang terkait dengan kondisi kehidupan masyarakat Muslim di sekitar masjid, lalu ditetapkanlah visi “Menuju Jogokariyan Kampung Islami” serta dibuat rencana strategis dan program-program kerja, katanya.

Menurut Jazir, para pengurus masjid harus menyusun rencana strategisnya terlebih dahulu karena visi dan misi sudah ditetapkan sebelum melangkah pada program-program kerja yang dijabarkan dalam rencana aksi.

“Jadi ada tahapan-tahapan untuk mencapai visi kita itu. Dan, bagaimana membuat kehadiran masjid sangat dibutuhkan masyarakat. Ini dimulai dengan mengubah ‘mindset’ (cara berfikir) pengurus bahwa masjid bukan sekadar tempat shalat,” katanya.

Di zaman Nabi Muhammad SAW, masjid antara lain juga dijadikan “pusat pertolongan umat”. Karenanya, Dari pengalamannya bersama pengurus lain mengelola Masjid Jogokariyan sejak 1999 hingga menjadi seperti sekarang ini, terlihat bahwa setelah para pengurus mengubah cara berfikir mereka dan citra masjid di mata masyarakat tentang fungsi-fungsi masjid, Jazir mengatakan ada dua hal lain yang harus juga dipahami dengan baik.

Kedua hal tersebut adalah bagaimana takmir mengelola masjid yang dikaitkan dengan masyarakat Muslim yang hidup di sekitarnya dan bagaimana pula meraih keberhasilan dalam mewujudkan visi dan misi masjid mereka.

“Orang baru bisa percaya kalau kita (pengurus masjid-red.) bisa mempertanggungjawabkan amanah mereka,” kata tokoh masjid yang suka mengenakan penutup kepala bermotif batik buatan pengrajin Yogyakarta ini.

Pada awal proses mengajak warga beramai-ramai mendirikan shalat subuh berjamaah di Masjid Jogokariyan pada 2005 untuk mencapai target 20 persen dari total jumlah jamaah shalat Jumat, pengurus mengirim undangan dengan desain seperti layaknya undangan pernikahan ke rumah-rumah warga kampung.

Kemudian, pengurus juga menyediakan minuman kopi susu gratis serta ‘door prize’ (hadiah) untuk menggembirakan jamaah yang datang memenuhi undangan shalat berjamaah di masjid. Beragam hadiah, termasuk kompor gas dan kipas angin, bagi jamaah shalat subuh yang beruntung itu diperoleh pengurus dari sumbangan masyarakat.

Jika ada anggota jamaah yang kehilangan sandal dan sepatu di lingkungan masjid, pengurus mengganti sandal dan sepatu mereka itu dengan yang baru dengan merek yang sama.

Pada Ahad pagi, pengurus masjid pun menyediakan sarapan pagi namun, untuk mendidik jamaah agar mencintai shalat subuh dan shalat-shalat lima waktu lainnya secara berjamaah di masjid, para khatib menyampaikan materi kuliah subuhnya dengan mengangkat topik “keutamaan shalat berjamaah”.

Tak cepat berpuas diri dengan pencapaian target tahun 2005, pengurus masjid meningkatkan lagi target jumlah jamaah shalat subuhnya hingga 50 persen dari total jumlah jamaah shalat Jumat pada 2010. Target tersebut pun tercapai.

“Kini, kita ingin jumlah jamaah shalat subuh kita minimal mencapai 75 persen dari jumlah jamaah Jumatan,” kata Jazir.

Perjuangan untuk menjadikan shalat subuh berjamaah di Masjid Jogokariyan seramai shalat Jumat terus berlangsung di tengah kemandiriannya secara finansial dan kehadirannya yang telah dirasakan banyak warga setempat memberi manfaat nyata secara ekonomi, sosial dan budaya kepada masyarakat.

Oleh: Rahmad Nasution, Jurnalis Antara

Artikel ini ditulis oleh:

Antara