“Ini juga membuktikan jika masyarakat Indonesia memiliki daya beli dan investasi yang tinggi, untuk membeli surat utang negara. Oleh sebab itu, tidak perlu ada kekhawatiran,” ujarnya.
Adapun posisi hingga 2017, total pinjaman pemerintah sebesar Rp3.780 triliun dengan komposisi mayritas dari surat berharga negara (SBN) rupiah 58,4 persen, SBN valas sebesar 22,2 persen, pinjaman luar negeri sebesar 19,3 persen, dan pinjaman dalam negeri 0,1 persen.
Hati-Hati dan Produktif Sri menjamin penarikan utang akan dikelola secara hati-hati dan penggunaannya akan produktif.
“Caranya, kami jaga rasio utang di bawah 30 persen dari PDB. Meskipun Undang-Undang memperbolehkan hingga 60 persen PDB, tapi kami jaga dengan angka yang jauh di bawah itu,” tutur dia.
Selain itu, penarikan utang juga dilakukan dengan memperhatikan risiko utang dari aspek selisih kurs, jangka waktu pengambilan utang, dan biaya penarikan utang itu sendiri.
Sedangkan penggunaannya, kata Sri, utang ditarik untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan program sosial.
Pemerintah memang menerapkan kebijakan fiskal ekspansif untuk kegiatan produktif, salah satunya mengatasi ketertinggalan melalui pembangunan infrastruktur.
Dalam Rancangan APBN 2018, pemerintah menargetkan pendapatan negara Rp1.878,4 triliun dan belanja negara Rp2.204,4 triliun. Itu artinya, ada defisit Rp325,9 triliun atau 2,19 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
ant
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby