Jakarta, Aktual.com – Nasib revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, terkatung-katung di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak Mahakam Konstitusi (MK) membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) pada tahun 2012.
Dengan dibubarkan BP Migas karena dinilai inkonstitusional, maka pemerintah membentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Namun SKK Migas ini tidak memiliki legistimasi yang kuat dimata Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), karena lembaga SKK bersifat sementara menunggu hasil revisi UU Migas, karenanya sejak BP Migas dibubarkan, blok migas yang ditawarkan, sepi dari peminat dan jumlah KKKS kian berkurang.
Menyikapi hal ini, Dewan Pembina Serikat Pekerja SKK Migas, Elan Biantoro meminta DPR menyelesaikan revisi tersebut paling lambat tahun 2018, karena jika melampaui 2018 maka diperkirakan revisi UU Migas akan lebih molor lagi hingga 5 tahun kedepan.
“Kalau 2018 tidak selesai, 2019 akan sulit diselesaikan karena tahun politik. Atrinya setelah Pileg, anggota DPR Komisi VII akan diisi orang baru lagi dan revisi akan lama lagi butuh dua hingga tiga tahun,” katanya pada diskusi Publik yang diselenggarakan oleh PP KAMMI di Jakarta, Kamis (26/10).
Menurutnya lantatan revisi berlarut-larut di DPR, sangat memberi kontribusi negatif pada usaha hulu migas dan menjadi ancaman ketahanan energi nasional. Selain itu sektor penunjang juga terkena dampak langsung dan menghambat terjadinya multiplier efek.
“Lantas apakah kita mau menderita terus menerus seperti saat ini? Makanya momentum sekarang hingga 2018 harus diselesaikan,” pintanya.
Sementara ketua LSO Energi PP KAMMI, Barri Pratama menyayangkan kinerja DPR tidak progresif dan terkesan mengulur-ngulur waktu atas revisi UU tersebut.
“Sangat disayangkan DPR ngulur-ngulur waktu atas revisi UU Migas ini. Bagaimana investor yakin mau berkontrak kalau landasan hukumnya punuh masalah dan tidak kunjung diselesaikan. Ini tidak ada kepastian investasi,” pungkas Barri.
Dadangsah Dapunta
Artikel ini ditulis oleh: