Jakarta, Aktual.com — Gede Robi Supriyatna tak hanya punya selera bermusik yang berbeda dengan kebanyakan musisi lain, tapi juga memiliki selera hidup yang menarik.
Suara khas dan akrobat permainan gitarnya mengantarkan Navicula menjadi band rock yang digandrungi banyak kalangan.
Tema lingkungan dalam setiap lagu Navicula menjadi instrumen penting bagi banyak aktivis dan lembaga dalam mengkampanyekan pelestarian lingkungan.
Selain seni, pilihan hidup Robi sebagai penulis dan petani membuat Forum Komunitas Hijau (FKH) menghadirkan Robi sebagai umpan segar dalam kampanye ‘Festival Hijau’ yang digelar bersama Pemerintah Kota Gorontalo.
FKH Gorontalo menggelar Festival Hijau pada 8 November 2015 lalu, bertepatan dengan Hari Tata Ruang Nasional.
Festival tersebut merupakan bagian dari kampanye untuk melestarikan lingkungan, dengan sejumlah kegiatan seperti lomba band bertema lagu-lagu lingkungan, lomba sekolah hijau, lomba kantor pemerintahan hijau hingga desain taman.
Dalam festival itu, Navicula didaulat melukis di tembok (mural) yang ada di Taman Kota Gorontalo, bersama pelukis lainnya yang tergabung dalam komunitas Gorontalo Perupa (Goropa).
Pria asal Bali itu memberi judul “Overload Consumption” pada bumi pecah dengan uang yang bertebaran dari perut bumi yang dilukisnya selama kurang lebih dua jam.
“Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan manusia. Setiap desain di bumi ini, harusnya terkait tiga hal yaitu peduli pada alam, masyarakat dan masa depan,” ujarnya.
Menurutnya, ketika alam rusak dengan berbagai alasan eksploitasi berkedok uang, maka kehidupan masyarakat terganggu dan masa depan generasi berikutnya suram.
“Pembangunan jangan sampai bertentangan dengan alam bekerja. Kerugiannya jauh lebih besar dibanding investasi yang sudah berjalan, sawit contohnya. Masyarakat bahkan mungkin pemerintah tidak paham bahwa sawit hanya menghasilkan tiga tahun saja, selanjutnya kita hanya menikmati setiap kerusakan yang ditimbulkannya,” papar Robi.
Selain Robi, pelukis Gorontalo Syam Terajana mempersembahkan lukisan berjudul “Televisi Terbakar”, sebagai bentuk kritik dan introspeksi bagi media yang kurang peka dalam menyajikan berita kebakaran lahan dan hutan beberapa waktu lalu.
Ia menilai produk televisi terlena dalam hiburan dan kurang memberi ruang bagi kampanye pelestarian lingkungan, karena baru memberitakan saat kebakaran lahan terjadi.
Sementara para pelukis lainnya menuangkan ide-ide pengelolaan sampah yang diberi tema sampah organik, sampah anorganik dan sampah masyarakat.
Artikel ini ditulis oleh: