Jakarta, Aktual.com – Aktivitas kampanye pada media sosial (medsos) dinilai menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara Pemilu 2019.
Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi berpendapat, hal ini akan menjadi tugas berat bagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam menangani laporan maupun temuan dugaan pelanggaran dalam medsos.
Pelaksanaan kampanye lewat iklan di media massa dan media sosial memang lebih mudah dipantau dibandingkan dengan kampanye tatap muka atau penyebaran atribut. Namun pelaksanaan kampanye di media sosial menjadi tantangan bagi Bawaslu, khususnya dalam menangani akun-akun anonim.
“Soal kampanye di media sosial ini yang paling krusial karena hoaks, black campaign, isu SARA itu di situ semua penyebarannya. Memang untuk proses penegakan hukumnya, Bawaslu tidak bisa sendiri, harus bekerja sama dengan aparat penegak hukum dan institusi terkait,” kata Veri di Jakarta, Kamis (27/9).
Untuk mengawasi penyebaran konten negatif selama masa kampanye, Veri mengatakan Bawaslu bisa bekerja sama dengan perwakilan perusahaan aplikasi sosial media di Indonesia.
Komunikasi yang dijalin oleh Bawaslu dengan perusahaan tersebut saat ini sudah terjalin cukup baik, lanjut Veri, namun perlu ditingkatkan lagi guna mengetahui pergerakan konten negatif selama masa kampanye.
“Bisa saja Bawaslu bekerja sama dengan penyedia jasa atau dengan perusahaan medsosnya. Komunikasinya Bawaslu dengan beberapa medsos sudah cukup baik terkait dengan iklan kampanye, tapi yang sulit itu soal status-status kampanye di medsos, itu yang sulit dipantau,” kata Veri.
Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018, yang diperbarui menjadi Nomor 28 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum, disebutkan salah satu metode kampanye dapat dilakukan di media sosial.
Akun media sosial milik peserta pemilu, baik milik capres, cawapres, tim kampanye pasangan calon, maupun caleg, harus dilaporkan kepada KPU dan dibatasi paling banyak 10 akun untuk setiap aplikasi.
Namun, seringkali akun yang tidak didaftarkan maupun akun anonim, atau biasa dikenal dengan istilah buzzer, turut menyebarkan konten kampanye bahkan konten negatif di media sosial.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan