Mematut diri depan cermin, terlintas pertanyaan mengusik hati: “Bahagia kah kau dengan hidupmu? ”
Gerak hidupku memang seperti roda mesin. Berputar beredar di lingkaran rutinitas, tanpa jeda refleksi diri.
Tak yakin benar manfaat kesibukan bagi kebaikan kehidupan. Yang pasti, dimana pun titik bumi negeri ini kupijak, bertemu keragaman manusia yang menanti pengharapan, segala kerisauanku tentang negara pudar.
Melihat Indonesia dari pinggir seperti melihat pendar sinar yg lebih terlihat indah dari lingkar terluar. Apa yg terlihat muram di ibukota, tampak lebih cerah di tepian.
Bukan karena kehidupan di tepian lebih makmur, melainkan karena kesederhanaan, yang membuat harapan hidup lebih mudah didekati dengan kebersahajaan.
Di kesuburan tanah pinggiran, masih tertanam kesuburan jiwa. Kepolosan wajah pedesaan bak cermin bening yang bisa memantulkan ketulusan pengabdian secara setimpal.
Sinar cinta yang dipancarkan pusat ke pinggir berbalas kesetimbangan pijar cahaya yg dipantulkan ke pusat, seperti tepukan yang tak berbunyi sebelah tangan. Meski disayangkan, elit negeri di pusat lebih sering mengirimkan aura energi negatif ke pinggir.
Ada dua sisi waktu yang tak bisa kuperbuat: masa lalu dan masa depan. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah berbuat masa kini.
Aku ingin merebut hari ini dengan menanam benih kebaikan, meski tampak seperti misi kesia-siaan, bak setetes air di tengah terik gurun.
Tugas hidup bukanlah meraih keberhasilan, tp memperjuangkan keberhasilan. Dgn ketulusan pengabdian, setiap amal tidaklah sia-sia.
Seperti samudera bermula dari tetes air. Setiap senyum memberi keriangan bagi semesta. Setiap sapa memberi gairah bagi sesama. Setiap darma membangun harapan bagi kehidupan.
Bila dengan membantu menumbuhkan harapan bagi yang lain hidupku terasa bahagia, bisa kukatakan hidupku meniti jalan kebahagiaan.
Tak ada jalan menuju kebahagian. Kebahagiaan adalah jalan itu sendiri. Bila setiap momen yang kujalani penuh keriangan, penuh darma, penuh makna; jadi wahana aktualisasi diri hingga mencapai versi terbaik dari tujuan moral eksistensiku, maka hidup yang kujalani hidup bahagia. Bukankah kebahagiaan tertinggi terengkuh dalam kebermaknaan hidup?
Yudi Latif