Ada tren global menarik yang patut dicermati ke depan, di tengah semakin menajamnya persaingan global Amerika Serikat versus Cina di kawasan Asia Pasifik. Yaitu munculnya kapal induk terbaru Cina hasil produksi dalam negeri. Sebuah show of force yang kiranya cukup memantik kekhawatiran AS di tengah ketegangan di Semenanjung Korea maupun Laut Cina Selatan belakangan ini.

 

Meskipun pihak Cina membantah jika bahwa kemuncilan kapal induk terbarunya itu untuk tujuan ekspansionis, namun tak urung hal itu memicu kekhawatiran dari pihak AS, Korea Selatan dan bahkan Jepang. Sebab perkembangan terkini tersebut mengindikasikan bahwa pembangunan dan modernisasi Angkatan Bersenjata Cina memang benar-benar dilakukan secara sistematis dan terencana.

 

Sebagaimana dilansir beberapa media pada Jumat (28/04) lalu, Kapal induk baru Tiongkok ini akan membawa pesawat tempur Shenyang J-15. Namun menurut para pengamat, kapal induk ini secara teknologi masih berada di bawah 10 kapal induk milik Angkatan Laut Amerika Serikat.

 

Namun bagi AS maupun dua sekutu strategisnya Korea Selatan dan korea Utara, yang memandang Cina bakal mendukung penuh Korea Utara jika pecah konflik bersenjata di Semenanjung Korea, keunggulan kapal induk AS terhadap kapal induk Cina bukan masalah pokok. Meningkatnya postur pertahanan Cina, dan semakin canggihnya peralatan militer Cina dalam mengimbangi kekuatan militer AS dan NATO, merupakan masalah yang jauh lebih krusial.

 

Sehingga kemunculan kapal induk terbaru Cina ini, akan dibaca oleh AS dan sekutu-sekutunya sebagai salah tonggak keberhasilan Cina dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan militer Cina. Bukan soal apakah AS punya 10 kapal induk dan Cina sejauh ini hanya punya dua kapal induk.

 

Selain itu, kekhawatiran AS dan sekutu-sekutunya di Eropa Barat maupun Asia Timur, sesungguhnya bukan terletak pada keunggulan militer negeri Tirai Bambu tersebut. Melainkan kedigdayaan Cina di bidang ekonomi, dan potensinya dalam mendominasi perekonomian global di kawasan Asia Pasifik.

 

Kilas Balik Kecurigaan AS atas Keunggulan Ekonomi Cina

 

Tanpa mengesampingkan adanya penurunan kehidupan perekonomian Cina akhir-akhir ini, ekpansi ekonomi Cina ke luar negeri sejak 2013 lalu memang tidak bisa diremehkan begitu saja. Bahkan, berdasarkan penelusuran tim riset Aktual berdasarkan tren ekonomi Cina pada 2013 lalu, persaingan di bidang ekonomi menunjukkan Cina lebih unggul dibandingkan AS.

 

Sehingga hal itu memicu kecurigaan Washington mengapa Cina sampai bisa-bisanya mengungguli perekonomian Cina, bahkanb sampai dalam hubungan perdagangan antar kedua negara, AS mengalami defisit terhadap Cina.

 

Sedemikian rupa curiga Washington terhadap kedigdayaan ekonomi Beijing, sehingga Komisi Perdagangan Internasional (International Trade Commission) AS mengumumkan akan menyelidiki produk 3G dan 4G produksi Huawei Technologies Co, Ltd, China, Zhongxin Telecom (ZTE) Co, Ltd China, Samsung Group Korea dan Nokia Corporation. Menyelidiki apakah melanggar hak paten perusahaan AS ataukah tidak.

 

Rupanya pada 2012 AS pernah mengeluarkan peringatan terhadap Huawei dan ZTE atas kecurigaan mereka adanya perangkat pengintai dalam produk elektronik Cina. Sedangkan, di London, Inggris, Financial Times melaporkan bahwa defisit perdagangan AS terhadap Cina bukan US $ 176 miliar, melainkan US. $ 1.310 miliar. Penelitian ini akan dapat melemahkan suara dalam negeri AS yang menyebut Cina sebagai “manipulator mata uang.”

 

Apalagi ketika Kepala Ekonom Bank Dunia, Lin Yifu mengatakan, perekonomian Cina mampu tumbuh 8% per tahun selama 20 tahun ke depan, dengan syarat Cina harus melakukan reformasi. Meskipun pernyataan Lin Yifu diutarakan sekitar tiga tahun lalu, namun masih tetap jadi rujukan penting untuk diantisipasi oleh para perancang kebijakan strategis keamanan nasional AS.

 

Lepas dari kecurigaan AS terhadap keunggulan ekonomi Cina, fakta menunjukkan bahwa kedigdayaan Cina di bidang ekonomi dibandingkan AS memang semakin terlihat ketika perusahaan Cina menjadi operator strategis Pelabuhan Gwadar yang terletak di dekat Selat Hormuz, yang merupakan pelabuhan paling sibuk untuk jalur pelayaran minyak,

 

Sejak Februari 2013. Cina menanamkan investasi sebesar US $ 250 juta untuk mengambil alih operasional perusahaan dalam rangka meraih keuntungan yaitu mengurangi biaya pengiriman barang dari Cina ke Timur-Tengah dan Afrika.

 

Namun, langkah Cina juga dapat diartikan memberikan warning kepada AS bahwa geopolitik utama Cina telah dialihkan ke kawasan Asia Pasifik.

 

Maka tak heran jika sejak  sekarang AS semakin meningkatkan kekuatan militernya di Singapura dan Filipina. Di New York, AS, mantan.

 

Jika kita cermati sejak 2012 lalu,  investasi langsung Cina ke luar negeri (merger dan akuisisi) di sektor non finansial mencapai US $ 62,5 miliar (naik 25%), proyek kontrak di luar negeri sebesar US $ 102,4 miliar (naik 18,7%) dan jumlah kontrak baru sebesar US $ 128,8 miliar (naik 12,9%).

 

Prediksi dari Bank Dunia menggambarkan bahwa di tahun 2020 Cina akan mampu menggeser posisi AS. Jika pola ini berlanjut di tahun 2050, Cina akan menjadi negara hegemonik baru di dunia internasional.

 

Inilah tren global yang mengkhawatirkan AS dan blok Barat, atas semakin digdaya-nya Cina di bidang perekonomian. Kekhawatirannya bukan sekadar karena Cina akan muncul sebagai pesaing global AS yang paling berbahaya, melainkan adanya kemungkinan persekutuan strategis Cina dengan Hongkong maupun Taiwan.

 

Kalau menelisik perkembangan sejak akhir 1990-an, nampaknya untuk mewujudkan apa yang disebut “China Dream,” sebagai symbol kebangkitan etnis Cina, maka Cina-Hongkong dan Makau harus saling bekerjasama dan saling melengkapi. Cina tetap menganggap Huaren dan Huaqiao (warga Cina perantauan) menjadi aset penting mengejar “China Dream” tersebut.

 

Langkahnya adalah semua elemen Cina dimanapun berada adalah “satu bangsa” melalui program cultural nationalism. Hal tersebut ditegaskan, Martin Jaques dalam bukunya ”When China Rules The World”.

 

Berdasarkan skema tersebut, sangatlah logis jika Cina akan memprioritaskan suatu kebijakan luar negeri yang semakin mempererat persekutuan strategis dengan Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sehingga terbangun suatu pancangan kaki untuk menguasai kawasan Asia Pasifik.

 

Celakanya, Cina dalam menerapkan prinsip nasionalisme kultural tetap menganggap orang-orang diluar Zhungguo (Cina) adalah barbar dengan sebutan yang tidak enak seperti ”Yang Guizi atau Guilao”, ”Fanyin” atau ”Fangui”.

 

Pertanyaannya kemudian, apakah semakin menajamnya persaingan global AS versus Cina dalam bidang ekonomi dan pertahanan di Asia Pasifik akhir-akhir ini, akan bermuara pada perang terbuka seperti prediksi pakar politik AS Samuel Huntington? Ataukah justru akan mengarah pada persekongkolan hegemoni baru keduanya, yang akan mengorbankan kepentingan nasional negara-negara berkembang seperti Indonesia?

Hendrajit