Wisatawan menikmati Taman Wisata Candi Prambanan (TWCP), Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (23/12). Pemerintah aka melakukan standardisasi destinasi wisata di Jogja, Solo, Semarang (Joglosemar) seperti Candi Prambanan, Borobudur, dan Situs Sangiran yang merujuk pada standar destinasi internasional untuk mencapai target kunjungan 20 juta wisatawan pada tahun 2019. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/aww/16.

Yogyakarta, Aktual.com – Peneliti kebijakan pariwisata UGM (Universitas Gadjah Mada) Yogyakarta, Lhaksmi Savitri, menguak sejumlah alasan terjadinya kapitalisasi pedesaan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang menggunakan dalih pengembangan ekonomi berbasis industri pariwisata.

“Keistimewaan Yogya itu adalah ke’ndeso’annya (ke’desa’annya), orang datang ke Yogya karena ingin lihat budaya kampung yang ada di kota yang tidak akan mungkin ketemu di kota-kota besar lain di Indonesia seperti Jakarta, Bandung ataupun Surabaya,” ujarnya saat diskusi di Universitas Negeri Yogyakarta, ditulis Minggu (21/5).

Sayangnya, keistimewaan Yogya tersebut kini sedang dihancurkan dengan menjual ikon ke’ndeso’annya itu. Sebuah paradoks yang menurutnya memiliki ironi luar biasa sedih.

Ia mengkaji, setidaknya terdapat tiga alasan utama yang dibangun pemerintah, melalui argumentasi ilmiah, dituang ke dalam dokumentasi kebijakan negara demi membenarkan proses ‘perampasan’ desa-desa di Yogya atas kapitalisasi pariwisata supaya terlihat legal.

“Pertama, dokumen Among Tani Dagang Layar yang dibuat Ir. Bayudono yang saat ini menjabat Ketua DRD (Dewan Riset Daerah) DIY. Dalam dokumen ini dalih yang dibangun pertama adalah keterbelakangan dan kemiskinan di Jogjakarta,” kata dia.

Dokumen ini menganalisis perencanaan MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dimana belum ada rencana seputar pembangunan infrastruktur kelautan, sehingga wilayah pantai selatan Jawa salah satunya pesisir DIY harus dilakukan pembangunan.

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis
Andy Abdul Hamid