Sampai saat ini, telah ada sekitar 60 Desa Wisata yang menjual eksotisme kultur pedesaan di DIY. Aktivitas masyarakat desa harus rela jadi tontonan, persis seperti di Bali. Penduduk desanya sadar bahwa dirinya adalah tontonan sebab setiap desa saling berkompetisi menampilkan keunggulan dan Yogya sedang menuju ke arah sana.

“Padahal desa merupakan situs terakhir yang digarap oleh industri pariwisata, dia hanya menjadi penampung sisa industri pariwisata massal,” ungkap Lhaksmi yang juga seorang antropolog ini.

Lewat program Desa Wisata, wisatawan yang sudah terlalu banyak di wilayah kota masih akan terus ditambah tanpa menghiraukan desa yang perlahan kehilangan daya tampung dan daya dukung terhadap pariwisata itu sendiri, belum lagi kehadiran NYIA bakal meningkatkan 10 kali lipat jumlah target wisatawan ke DIY.

“Pertanyaannya adalah, ini adalah cara untuk menginklusi warga ke dalam industri pariwisata atau ini sebetulnya proses yang akan menyingkirkan warga dari pariwisata itu sendiri?” sindir Lhaksmi.

Di balik keberhasilan pengelolaan sejumlah Desa Wisata sesungguhnya terdapat konflik internal antar warga yang luar biasa menimbulkan kompetisi sangat kencang dan tajam, sehingga tolak ukur keberhasilan kesejahteraan masyarakat desa kembali dipertanyakan.

“Akibatnya, orang nggak nyaman lagi tinggal di Yogya karena muncul kecemburuan dan sekat-sekat sosial. Yogya mulai kehilangan komunalitas desa, kehilangan jati diri karena hanya jadi bungkus dan kosmetik, yang sebenarnya yang ingin ditonjolkan hanyalah rasa kota dari desa itu sendiri,” kata dia.

Lhaksmi menilai konsekuensi ini yang tidak ingin dihitung pemerintah, termasuk soal dampak pada lahan pertanian di DIY yang menurun jumlahnya dilihat dari tingkat kepemilikan.

Serta kerentanan pangan, DIY tidak akan lagi mampu memproduksi kebutuhan pangannya sendiri karena setiap tahun lahan persawahan terus menyusut disebabkan perubahan orientasi ekonomi masyarakat dari pertanian ke pariwisata.

“Rumah tangga petani sudah berkurang 64% dan Gunung Kidul menjadi satu-satunya Kabupaten yang masih menampung pertanian, Kabupaten lain sudah dianggap habis,” pungkas Lhaksmi.

(Nelson Nafis)

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis
Andy Abdul Hamid