Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti (kanan) didampingi Kadivhumas Mabes Polri Irjen Pol Anton CH (kiri) memberikan keterangan pers tentang perkembangan kasus teroris Sarinah di Mabes Polri, Jakarta, Sabtu (16/1). Polri menyatakan telah menangkap 12 orang yang terkait dengan serangan tersebut, termasuk penerima dana dari kelompok ISIS. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/nz/16.

Jakarta, Aktual.com — Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menilai, regulasi mengenai pemberantasan terorisme cenderung bersifat reaktif. Sehingga menurutnya membuat sulit jajaran kepolisian melakukan pencegahan.

Dengan demikian, dengan undang-undang saat ini penindakan baru dapat dilakukan setelah aksi teror terjadi.

“Setelah aksi terjadi, kami baru bisa melakukan penindakan, karena itu perlu perluas (UU Terorisme) bagaimana pencegahan itu dilakukan agar dengan menambah beberapa pasal atau memperluas kriminalisasi dan juga memperbaiki hukum acara yang ada,” kata Badrodin di Jakarta, Kamis (21/1).

Dia menjelaskan, perluasan makna kriminalisasi yang dimaksud, yaitu penambahan aturan pencegahan dengan menambah kewenangan bagi kepolisian untuk menangkap para terduga teroris atau orang-orang yang dianggap berbahaya.

Termasuk, lanjut Kapolri, upaya pengawasan WNI yang kembali dari Suriah atau negara-negara yang menjadi basis kelompok radikal.

“Di antaranya bagaimana, misalnya, ada pelatihan militer, fisik yang mengarah ke persiapan aksi terorisme, kemudian bagaimana terhadap orang-orang yang ikut bergabung di Suriah melakukan aksi bersenjata.”

“Kemudian ke Indonesia, ini juga enggak bisa jangkau oleh hukum, termasuk bagaimana kalau ada orang yang mendeklarasikan diri atau berbaiat ke ISIS, apakah ini dijangkau hukum. Selama ini tidak bisa,” ujar dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu