Jakarta, Aktual.com – Kamis 1 Oktober lalu China merayakan hari jadi ke-71 dan salah satu hal menghebohkan dari cara China merayakan hari nasionalnya itu kali ini adalah tumpleknya ribuan manusia ke acara-acara publik pada saat pandemi COVID-19 masih ganas menyergap dunia.
Kerumunan besar itu tak mengindahkan protokol kesehatan. Tak ada yang bermasker, tak ada yang menjaga jarak sosial.
Ketika banyak negara memperketat lagi aturan pergerakan manusia guna membendung virus corona menyusul munculnya gelombang kedua pandemi, China memberi pesan kepada dunia bahwa mereka berhasil menaklukkan pandemi.
Dan itu bukan isap jempol semata.
Dengan penduduk 1,39 miliar atau lima kali jumlah penduduk Indonesia, China berhasil melandaikan grafik yang hampir paralel dengan garis 0.
Itu semua terkonfirmasi dalam grafik pergerakan jumlah kasus virus corona di seluruh dunia, mulai dari yang disajikan oleh Universitas Johns Hopkins di Amerika Serikat dalamĀ coronavirus.jhu.edu, sampai data-data online seperti ditampilkan Google-Wikipedia.
Untuk periode 1 April sampai 30 September 2020 saja, berdasarkan data online itu, jumlah kasus COVID-19 sehari di Indonesia terus menanjak dari 149 kasus pada 1 April menjadi 4.824 kasus pada 30 September, China stabil di bawah 50 kasus walau sesekali menembus angka100 termasuk mencapai rekor tertinggi 127 kasus pada 29 Juli.
Untuk negara dengan jumlah penduduk 17 persen dari total penduduk Bumi, fakta ini mencengangkan. Tak heran China percaya diri menggelar acara publik yang mengindahkan protokol kesehatan.
Dunia lainnya, termasuk Indonesia, boleh saja meniru China, namun ada baiknya tiru dulu cara China menempuh langkah keras dan bahkan kejam dalam membendung COVID-19.
Rasanya langkah China itu nyaris mustahil ditiru negara lain, bahkan akan sangat menyiksa bagi masyarakat yang menanggapi gejala alam yang semestinya dijelaskan ilmiah ini malah dilihat dari wasangka, pandangan menolak sains dan memuja teori liar konspirasi.
Apa yang terjadi di China saat ini juga terjadi di sejumlah kecil negara yang merelaksasi diri. Namun landasan relaksasi itu adalah data dan grafik, bukan ekspektasi politis dan sugesti.
Di antara yang bisa disebut dari negara-negara seperti itu adalah Arab Saudi.
Dengan grafik yang memuncak pada Juni dan Juli ketika angka sempat menyentuh 4.900-an kasus sampai kemudian negeri ini menurunkan skala peserta ibadah sampai 0,004 persen, tetapi kemudian terus menukik sampai cuma 403 kasus sampai 28 September, Saudi punya alasan kuat merelaksasi aturan anti-penularan virus corona.
Pada 3 Oktober Saudi resmi mengumumkan membuka kembali umrah di Mekkah.
Bergerak cepat
China dan Saudi adalah dua negara berbeda sistem politik tetapi relatif memiliki kesamaan dalam berpandangan bahwa mereka tak mau berjudi dengan nyawa rakyatnya.
Begitu empat nyawa manusia terenggut dalam sehari sehingga jumlah korban meninggal dunia akibat COVID-19 bertambah menjadi 38 orang pada 6 April 2020, Saudi memberlakukan jam malam di Riyadh, Tabuk, Dammam, Dhahran dan Hofuf, serta di seluruh provinsi Jeddah, Taif, Qatif dan Khobar.
Masjidil Haram dan Masjib Nabawi bahkan sempat tertutup, sampai-sampai salat tarawih yang biasanya padat hanya boleh diikuti segelintir orang. Bahkan rukun Islam kelima, haji, untuk tahun ini hanya diikuti 10.000-an, padahal biasanya diikuti 2,5 juta orang dari seluruh dunia.
Negara lain yang serius menanggapi epidemi ini adalah Vietnam yang sama seperti Korea Selatan digembleng oleh pengalaman dalam menghadapi epidemi Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS) yang sumbernya sama dengan sumber COVID-19 yakni negeri yang berbatasan langsung dengan mereka, China.
Vietnam bahkan sudah bersiap sebelum kasus pertama muncul. Kementerian Kesehatannya mengedarkan protokol pencegahan wabah ke semua departemen dan lembaga pada 16 Januari yang disusul kemudian ke seluruh rumah sakit dan klinik di seantero negeri.
Tujuh hari setelah menemukan kasus COVID-19 pertamanya pada 23 Januari, Vietnam membentuk apa yang disebut Komite Pengarah Nasional untuk Pencegahan Epidemi.
Pada 1 Februari ketika Vietnam cuma mencatat enam kasus terkonfirmasi, Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc menandatangani keputusan yang mengumumkan wabah itu sebagai epidemi.
Delapan hari setelah itu Kementerian Kesehatan menggelar telekonferensi dengan WHO dan 700 rumah sakit di semua tingkatan untuk mendiseminasi informasi pencegahan virus corona baru. Vietnam melakukan hal itu bahkan sebelum WHO resmi menamai penyakit yang diakibatkan oleh virus corona baru itu dengan nama “COVID-19” pada 11 Februari.
Langkah agresif Vietnam itu berbuah manis. Sampai 1 Oktober 2020, negeri ini “hanya” mencatat 1.094 kasus dan 35 orang meninggal dunia.
Vietnam juga tak terburu-buru merelaksasi sampai vaksin benar-benar ada untuk disuntikkan ke semua penduduk dan sampai penduduk seluruh negeri peduli pandemi.
Menghadapi gelombang kedua yang dicirikan oleh “kasus impor” dari luar negeri, Ho Chi Min City menyiapkan 27 hotel tambahan untuk fasilitas karantina berbayar, sedangkan Hanoi menyulap delapan hotel sebagai fasilitas karantina berbayar.
Di Eropa, Jerman menjadi cerita sukses melawan pandemi. Mitterteich menjadi kota pertama di negara itu yang menerapkan jam malam. Keluar rumah tanpa keterangan dan alasan mendesak adalah sangat terlarang. Kota di dekatnya, Tirschenreuth, tak kalah kerasnya sampai-sampai wali kotanya, Roland Grillmeier, berkata, “Pertimbangkan kesehatan Anda dan rekan-rekan senegara kita dan seriuslah menanggapi pembatasan ini.”
Sains jadi pegangan
Vietnam sosialis-komunis. Arab Saudi monarki absolut berasakan syariat Islam. Jerman demokrasi liberal. Ketiganya berbeda sistem kenegaraan, namun mereka sama dalam menghadapi pandemi; peduli pada nyawa manusia.
Mereka menomorsatukan pendekatan kesehatan dan sains, bukan semata ekonomi dan politik, sekalipun mereka tahu ketiga hal itu bertautan dan mereka ramu dalam sebuah peta jalan besar perang melawan pandemi.
Mereka juga mendudukkan tidak cuma birokrat dalam barisan depan perang melawan pandemi, tetapi juga pakar-pakar kesehatan terkemuka.
Bahkan AS yang paling parah terkena pandemi dan dipimpin seorang presiden yang tak mempercayai COVID-19, mendudukkan sains pada tempatnya dengan memilih pakar penyakit menular terkemuka Dr Anthony Fauci sebagai tokoh barisan depan dalam memerangi pandemi.
Fauci dan Presiden Donald Trump sering berseberangan di depan umum. Tetapi seandainya Trump tak menghadapi masalah elektabilitas akibat pemilu yang menentukan masa jabatan berikutnya di mana segala hal bisa dipolitisasi saat pemilu, AS mungkin tidak akan separah sekarang.
Yang jelas, inti pesan yang disampaikan oleh umumnya negara-negara yang keras melawan pandemi adalah nyawa manusia itu hal utama, walaupun cuma satu nyawa di antara jutaan, puluhan juta, ratusan juta, miliaran nyawa manusia.
Arab Saudi berani mengambil langkah kontroversial menunda ibadah haji karena monarki itu lebih memprioritaskan keselamatan manusia seperti ditinggikan oleh ajaran luhur mana pun di dunia ini. Dalam Islam misalnya, salah satu bagian dari ayat 32 Surat Al-Maidah menyebutkan “Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” Tampaknya ini diresapi betul oleh Saudi.
Karena menganggap penting nyawa manusia, negara-negara yang keras melawan pandemi tidak pernah menganggap enteng statistik jumlah kasus pandemi, apalagi ketika mereka yang harus berpisah raga akibat COVID-19 semakin banyak.
Sehingga, begitu gelombang kedua muncul yang sejak lama diingatkan oleh pakar-pakar kesehatan seluruh dunia bakal lebih dahsyat dibandingkan gelombang pertama, negara-negara yang peduli kepada nyawa manusia itu serempak menerapkan kembali aturan-aturan keras dalam membendung penyebaran virus corona.
Prancis mewajibkan masker di tempat umum. Israel melarang orang keluar lebih dari 500 meter dari rumahnya. Jerman mengancam denda 50 euro (Rp871 ribu) kepada mereka yang tak mengenakan masker di tempat dan fasilitas umum.
Beberapa tempat di Indonesia juga menerapkan lagi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), apalagi jumlah kasus dan korban meninggal di Indonesia sudah jauh melewati statistik pandemi China yang penduduknya jauh lebih banyak. Sampai 5 Oktober 2020, mengutip situs Universitas Johns Hopskins, ada 11.151 korban meninggal dunia di Indonesia dan ini jauh tinggi di atas China yang “cuma” 4.739 jiwa.
Hampir semua mengambil langkah keras kendati tahu perekonomian menjadi pertaruhan. Dan pandemi memang mengancam dunia terperosok ke lembah resesi dan tak ada negara yang kebal dari dampak krisis virus corona. Tetapi tak ada negara yang bangkrut hanya karena menerapkan langkah-langkah keras dalam membendung epidemi demi menyelamatkan nyawa manusia.
Sebaliknya, tempat-tempat seperti Vietnam, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura bahkan diproyeksikan sebagai tempat-tempat pertama di dunia yang ekonominya lebih cepat bangkit manakala awan gelap resesi sirna. Mereka juga menjadi makin siap dan berilmu dalam bagaimana harus mengakhiri perang melawan wabah-wabah mengerikan akibat penyakit menular.
Dan itu semuanya diawali dari keyakinan “karena ini soal nyawa manusia”. (Antara)
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin