Jakarta, aktual.com – Kita perlu belajar dari kasus yang menimpa negara-negara di Barat, khususnya Eropa yang “diterjang” dan “disengat” oleh imigran dari Libya, Suriah dan sejumlah wilayah di Timur Tengah yang terpapar konflik dan peperangan. Mereka para imigran itu menyeberang menggunakan kapal-kapal penyelundupan manusia melewati lautan Mediterania yang beresiko tinggi.

Para imigran yang menyerbu Eropa itu bagaikan tawon yang sarangnya dihancurkan. Tawon, adalah serangga terbang yang sangat agresif. Jika sarangnya diganggu atau dihancurkan, maka tawon itu seketika mengamuk dan menyengat siapa saja yang ada di sekitarnya.

Libya dan Suriah dapat kita ibaratkan seperti sarang tawon itu. Ketika sarang itu diganggu dan dihancurkan, maka seketika itu juga, mereka menjadi sangat liar menyerbu, menduduki dan menyengat negara-negara di Eropa. Mereka kemudian membentuk sarang-sarang atau komunitas baru di sana.

Persis kata pepatah, “senjata makan tuan”, “siapa menabur angin akan menuai badai”. Suriah dan Libya bagaikan dongeng negeri yang menebar kutukan. Negara-negara Barat yang serakah dan haus mengobarkan perang dan konflik itu kini sedang menuai badainya. “Senjata sedang memangsa tuannya sendiri”.

Sebut saja rangkaian aksi massa yang menamakan diri mereka yellow vest (rompi kuning). Aksi itu berlangsung mulai pertengahan 2018. Aksi massa itu bahkan berkobar di kawasan mewah Boulevard Saint Germain, Paris. Aksi tersebut kemudian disertai kerusuhan massal. Sejumlah mobil, sepeda motor hingga pertokoan yang menjual barang mewah dibakar oleh massa.

Aksi itu dapat kita katakan sebagai awal dari rangkaian kutukan Libya dan Suriah tersebut. Persis seperti sengatan Tawon yang liar dan mengamuk. Tidak pernah dibayangkan Perancis seketika berubah menjadi negeri barbar. Padahal Perancis sendiri adalah negara yang dikenal dengan pemikiran filosof yang sangat tinggi, beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme.

Protes rompi kuning itu memang ditujukan kepada Presiden Emmanuel Macron atas kenaikan harga BBM dan tingginya biaya hidup. Namun kerusuhan massal yang meledek dalam aksi tersebut dapat kita pastikan ditumpangi oleh para imigran yang frustasi dengan kehidupan yang tidak pasti di sana.

Perebutan Supply Chain

Amerika Serikat dan negara-negara barat memang bermaksud mematahkan rantai pasokan (supply chain) yang dibangun China di Afrika dan Timur Tengah. Jalur sutra atau yang kini disebut OBOR adalah “mitologi rantai pasokan” yang dihidupkan kembali oleh China. Di waktu yang lampau, Suriah merupakan salah satu jalur sutra yang menjadi pintu masuk utama perdagangan dari China ke Timur Tengah dan Afrika.

Letak geografisnya menempatkan Suriah sebagai penghubung dunia bagian utara (Eropa, Rusia, dan Cina) dan dunia bagian selatan (Timur Tengah dan Afrika). Letak geografi yang strategis itu juga menempatkan Amerika juga berkehendak menguasai Suriah. Melalui Suriah, Amerika akan dapat mengalirkan jalur pipa gas ke negara-negara Eropa. Sebagaimana China, Amerika juga bermaksud menjadikan Suriah sebagai jalur perlintasan perdagangan ke negara-negara Timur Tengah dan Afrika.

Pertarungan perebutan rantai pasokan tersebut yang menggerakan negara Barat untuk menghancurkan Suriah. Namun, ketika rencana penghacuran itu dilakukan, Amerika dan negara-negara di Eropa mungkin saja abai atau lalai mempertimbangkan akibat langsung dari letak geografis Suriah terhadap negara-negara Eropa. Padahal, baik Libya maupun Suriah, kedua negara itu berhadapan dengan lautan Mediterania yang berseberangan dengan Eropa.

Letak geografis tersebut yang kini menjadi kutukan bagi negara-negara Eropa. Ketika Suriah dan Libya dihancurkan, maka secara otomatis, rakyat dari kedua negara tersebut melarikan diri secara ilegal menyebarangi lautan Mediterania. Mereka kemudian menyerbu, menduduki dan membangun komunitas di sejumlah negara di Eropa.

Gambaran terkait serbuan imigrasi bagaikan tawon itu dapat kita baca dari laporan PBB pada tahun 2015. PBB memperkirakan sekitar 60.000 orang imigran gelap dari Libya yang dicoba diselundupkan ke Eropa melalui laut Mediterania.

Ketika itu, negara-negara UE mendorong resolusi dari Dewan Keamanan PBB untuk memberikan dukungan hukum bagi misi yang memungkinkan operasi militer di perairan Libya. Uni Eropa bersedia mengambil risiko besar guna menghancurkan kapal dan infrastruktur yang digunakan oleh penyelundup yang membanjiri Eropa dengan sejumlah besar migran (bbc.com, 18 Mei 2018).

Brexit dan Border Non Fisik

Sebetulnya masalah yang menimpa Uni Eropa saat ini tidak jauh berbeda dengan masalah yang sedang dihadapi oleh banyak negara di dunia. Gelombang air bah imigrasi yang mengancam stabilitas di negara-negara di Eropa, juga melanda negara besar yang sangat stabil secara politik dan keamanan seperti Amerika, Australia dan Selandia Baru. Masalah seperti itu juga sedang mengancam bangsa dan negara kita.

Sebagai contoh, beberapa waktu lalu ditemukan sejumlah Warga Negara Asing yang dengan leluasa mendapatkan E-KTP sebagai Warga Negara Indonesia. Bahkan konon ratusan orang diantara WNA tersebut namanya masuk di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Masalah ini seharusnya menjadi masalah yang sangat serius untuk disikapi. Namun, sepertinya baik pemerintah maupun parlemen, menganggapnya sepele.

Padahal jika kita cermati, ancaman air bah imigrasi tersebut yang menjadi salah satu pemicu terjadinya Brexit (British Exit) dari Uni Eropa. Brexit sendiri ditempuh dengan jalan referendum tanggal 23 Juni 2016. Referendum itu menghasilkan 48,1% suara Bertahan di keanggotaan UE, 51,9% suara Keluar dari UE atau Brexit. Sabtu 30 Maret 2019 nanti adalah batas waktu bagi Inggris untuk keluar 100 persen secara administrasi dari keanggotaan Uni Eropa (UE).

Jika kita perhatikan, Brexit telah menempatkan kembali kerajaan Inggris untuk dapat secara berdaulat dan leluasa membangun tembok, tanggul atau “border non fisik” dalam membendung terjangan “air bah” global. Memang Konstitusi Uni Eropa telah menyandera dan merampas sebagian dari kedaulatan negara-negara anggotanya. Akibatnya, setiap negara anggota yang terikat konstitusi Uni Eropa tidak bisa leluasa dan berdaulat menyikapi ancaman terjangan air bah global tersebut.

Gelombang imigrasi dan banjir produk palsu yang mengepung pasar dunia adalah diantara terjangan air bah global yang sedang mengancam. Serbuan imigrasi telah mengancam stabilitas politik dan keamanan setiap negara. Banjir produk palsu, khususnya dari China, juga telah mengancam kelangsungan industri di setiap negara. Demikian juga revolusi digital yang berpotensi melebur konsep negara-bangsa (nation state) adalah bentuk baru dari gelombang air bah global yang harus secara serius disikapi.

Eksistensi setiap negara sangat ditentukan diantaranya oleh kebijakan memperkuat tanggul, bendungan, tembok atau bordernya. Baik itu border fisik maupun border non fisik. Ilmuan seperti Francis Fukuyama bahkan mengajukan tesisnya untuk kembali menata dan memperkuat negara. Fukuyama menulis buku yang diterjemahkan dengan judul “Memperkuat Negara, Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21 (Gramedia, 2005).

Sebab lain dari Brexit tentu dipicu oleh resesi ekonomi yang tidak berujung yang menimpa sejumlah negara anggota Uni Eropa. Resesi ekonomi di Yunani telah menyandera hampir seluruh negara anggota Uni Eropa. Penyatuan alat tukar tapi tidak disertai oleh penyatuan fiskal, adalah masalah tersendiri yang menjebak secara ekonomi bagi setiap negara anggotanya.

Peristiwa Brexit tersebut bukan sebuah peristiwa biasa. Kita patut mencermatinya karena akan menambah guncangan baru yang berdampak pada bangsa kita. Peristiwa Brexit itu menandai runtuhnya landscape dunia yang lama, yang dibangun dan digerakan di atas “rel politik” multilateralisme. Brexit adalah salah wujud dari runtuhnya konsensus dunia yang lama.

Bisa saja asosiasi multilateral, baik asosiasi politik seperti ASEAN maupun asosiasi ekonomi, seperti IMF, WB, WTO, dll. tidak terlalu berarti lagi peran dan fungsinya ke depan. Karena itu para pemimpin setiap negara, khususnya negara kita, harus memperkuat politik bilateral kepada setiap negara dalam menjaga dan memperkuat eksistensi dan stabilitas nasionalnya.

Brexit memang ditempuh melalui jalan referendum. Namun referendum yang menghasilkan Brexit bisa dipastikan adalah suara rakyat yang ter-“design” atau terencana. “Everything is by design”, demikian penggalang dari lirik lagu How Far I’ll Go, yang jadi soundtreck film Moana. Tidak ada yang meleset dari yang telah direncanakan sebelumnya.

Negara besar dengan sejarah yang sangat panjang seperti Kerajaan Inggris mustahil bertindak tanpa perkiraan keadaan dan perencanaan yang matang. Pilihan pada Brexit pasti sudah diputuskan oleh Ratu-nya negara-negara Commonwealth tersebut. Referendum hanya cara untuk melegitimasi putusan tersebut, agar terlihat elegan.

Keluar dari “kapal induk” Uni Eropa, pasti dengan pertimbangan agar kerajaan itu tidak turut karam bersama negara anggota yang lainnya, seperti Yunani, Italia, Perancis, dll. Nasib “kapal induk” Uni Eropa memang diperkirakan akan menyusul nasibnya Uni Sovyet yang telah lebih dahulu karam di lautan sejarah peradaban umat manusia.

Kita memang tak pernah membayangkan Inggris, sebuah negara yang berwatak ekspansionis itu tiba-tiba merasa terancam. Brexit telah menempatkan raja dunia” itu seakan-akan berubah menjadi bermental “kerdil”. Inggris keluar dari konsensus pasar bebas di kawasan Eropa, untuk kembali memperkuat “bahtera nabi Nuh” dalam menghadapi gelombang air bah global.

UUD 1945 dan “Bahtera” Non Fisik

Jika kita cermati, semangat dibalik Brexit, yang dilakukan oleh Inggris, serta gagasan pembangunan tembok di perbatasan Mexico oleh Donnald Trump, sebetulnya tidak jauh berbeda dengan semangat bangsa kita untuk kembali ke UUD 1945 (naskah asli sebelum amandemen). Kembali kepada konstitusi UUD 1945 bukan untuk mundur ke belakang. UUD 1945 secara filosofi adalah diri kita. Kembali kepada UUD 1945 berarti kembali menjadi diri kita sendiri, kembali kepada jati diri bangsa.

Baik Brexit, Tembok Trump hingga UUD 1945 mengandung semangat untuk kembali kepada diri masing-masing. Brexit, Tembok Trump dan UUD 1945 juga mengandung kesamaan spirit untuk membangun tanggul atau tembok non fisik dalam mengantisipasi ancaman air bah global yang sedang mengancam eksistensi setiap negara.

Border non fisik itu bisa kita jelaskan melalui kebijakan imigrasi seperti pengetatan visa (kontrol orang asing). Di bidang ekonomi border itu dijalankan melalui pengetatan tarif masuk barang dan jasa (kontrol barang). Di bidang moneter melalui kebijakan kontrol devisa yang terkendali (kontrol jasa). Di bidang pertahanan dan keamanan, border non fisik itu dijalankan melalui penguatan intelijen negara sebagai early warning system (sistem peringatan dini). Demikian juga konstitusi negara yang tertata adalah bentuk non fisik dari border yang dibangun oleh setiap negara.

Karena itu, prakarsa yang diambil oleh Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI), bersama Dewan Guru Besar UGM dan didukung oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk mendorong kembali ke UUD 1945 adalah sebuah langkah politik yang sejalan dengan situasi global. Prakarsa GKI dan UGM untuk kembali ke UUD 1945 juga sejalan dengan Brexit yang ditempuh oleh Inggris dan rencana Pembangunan Tembok di Perbatasan Mexico oleh Donnald Trump.

Kembali ke UUD 1945 (naskah asli sebelum amandemen) mengandung semangat “nabi Nuh” dalam membangun bahtera non fisik menghadapi air bah global yang sedang mengancam menenggelamkan setiap negara bangsa (nation state).

Oleh Haris Rusly Moti, eksponen gerakan mahasiswa 1998 dan Pemrakarsa dari Intelligence Finance Community (InFINITY)

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin