Jakarta, Aktual.com – Pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy mengungkapkan, permasalahan penistaan Al-Quran yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memang tak hanya menjadi masalah di DKI. Lebih luas lagi, penanganan kasus hukum Ahok telah mencerminkan banyak perspektif. Termasuk kegagalan pemerintah Joko Widodo.
“Saya melihat, dari peta masalah yang ada, saya membaca tergelarnya negara gagal. Yaitu, janji kampanye yang menjauh dari cita-cita konstitusi, dengan diikuti gagalnya Provinsi DKI jika dilihat dari aspek fiskal dan aspirasi masyarakat,” ujar Ichsan seperti dalam keterangan yang disampaikan ke Aktual.com, Selasa (1/11).
Ichsan mengurai terselenggaranya negara gagal itu. Dalam satu diskusi dengam Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia dengan pembicara Saldi Isra dari Universitas Andalas, Gayus Lumbun (Hakim Agung), Faisal Santiago, dengan tegas dia menganalisis bahwa pemerintahan Jokowi telah menerapkan model negara kekuasaan.
Diskusi yang diselenggarakan dalam rangka dua tahun Nawacita bidang hukum itu tidak bisa mengelak, kecuali berbicara tentang pentingnya budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan substansi hukum (legal substance) dan struktur hukum (legal structure).
“Dalam diskusi tiga lawan satu seperti disampaikan pimpinan Asosiasi, saya berpendapat, sistem dan struktur berpikir seperti itu harus berpijak pada proporsi yuridis filosofis, yuridis sosiologis dan yuridis formal,” kata Ichsan.
Tanpa hal ini, katanya, maka negara kekuasaan akan berakibat hukum sebagai pisau yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Politik tanpa hukum adalah liar, hukum tanpa politik mandul. “Maka negara kekuasaan itu mengindikasikan melagaknya the winner takes all, the loser gets nothing, survival of the fittest.”
Terlebih lagi dari fenomena kasus Ahok itu, kata dia, dengan munculnya Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI telah meluas sekaligus menunjukkan rendahnya harkat kewibawaan penguasa dan penegak hukum sebagaimana dia sajikan di hadapan berbagai petinggi di negeri tetsebut.
“Karena kata dia, dalam hukum pasar bebas, aliansi yang terjadi akan memunculkan korban. Itulah yang nampak pada beberapa pertemuan di atas menjelang 4 Nopember 2016 tersebut.”
Kondisi tersebut, kata dia, justru berpotensi melahirkan, salah satunya Susilo Bambang Yudhoyono. Karena itu, jejaring dan aktivis parpol tertentu disarankan untuk tidak ikut kegiatan demo 4 November tersebut, kendati Fadli Zon dan Fahri Hamzah sudah menyatakan kesediaan bergabung unjuk rasa.
Sementara SBY pun sebelumnya dikunjungi belasan ulama dari Madura. Bagi SBY, demo 4 November adalah hak rakyat dan respon mantan Presiden RI ke 6 adalah normatif dengan mengatakan, jangan melanggar hukum. Tapi di sisi lain, SBY pun harus bersiap menghadapi ragam kemungkinan bebas bersyaratnya Antasari Azhar pada 10 November mendatang dan mengemukanya kasus korupsi Eddie Baskoro atau Ibas.
“Makanya, saya kembali saya tegaskan, dari peta masalah di atas, saya membaca tergelarnya negara gagal. Janji kampanye yang menjauh dari cita-cita konstitusi, dan ikuti dengan gagalnya Provinsi DKI jika dilihat dari aspek fiskal dan aspirasi masyarakat.”
Dalam konteka ini, dia menambahkan, orang boleh berpandangan berbeda, tapi dana yang dikeluarkan bandar sebesar Rp1,6 triliun memang dituntut untuk kembali oleh investor. Sementara Soni Soemarno pelaksana tugas Gubernur DKI membatalkan 12 lelang proyek di DKI meski sudah dianggarkan APBD.
“Perspektif ini membuktikan, memang harus ada korban. Ahok akan dikorbankan tapi melalui cara-cara yang tidak mempermalukan negara kekuasaan. Ahok pun sulit berkampanye.”
“Inilah yang saya sebut false authority. Ada otoritas, namun pijakannya lemah secara sosiologis dan dasarnya rapuh dalam lingkup filosofis.”
Makanya, tandas Ichsan, tanpa keluhuran sikap, tanpa pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan yang memadai, jelas harus hati-hati menerapkan negara kekuasaan. “DKI ke depan tidak boleh seperti itu,” kata Ichsan.
Laporan: Busthomi
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu