Dikatakan Ninik bahwa hakim tidak cukup hanya mempertimbangkan tuntutan dan dakwaan yang dibuat oleh Jaksa sebagaimana kasus-kasus tindak pidana pada umumnya, melainkan hakim itu wajib menggali potensi kekerasan berbasis gender yang menjadi sebab peristiwa pidana itu terjadi. Hal tersebut telah termaktub pada pertimbangan Perma tersebut.
“Kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan” imbuhnya.
Pada kasus Baiq jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 9 Perma no 3 Tahun 2017 adalah bentuk “relasi kuasa yang bersifat hierarkis,” dan merugikan pihak –dalam hal ini Baiq yang “berada dalami posisi lebih rendah”.
Mengungkap adanya relasi kuasa pada kasus kekersan seksual, diketahui sebagai kasus yang paling sulit diungkap, terutama karena Posisi dan Kondisi pelaku dengan korban, karena dipicu faktor lokus, tempus saat kejadian.
Pada kasus Baiq, posisi pelaku adalah atasan korban, maka dalam segala situasi Korban dikondisikan sebagai pihak yang tidak ada pilihan lain harus mengikuti perintahnya.
Saksi korban adalah orang yang tidak memiliki kebebasan untuk melawan kehendak atasannya. Aparat penegak hukum dalam hal ini mulai dari Kepolisian yang melakukan lidik dan sidik, penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa dan Hakim yang megadili perkara telah gagal menggali keberanian saksi korban dalam mengungkap kasus yang sulit terungkap ini.
Artikel ini ditulis oleh: