Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak untuk memburu pemilik bank penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Karena pemilik bank tersebut tidak kooperatif terkait penyelesaian utang-utangnya kepada negara.

“Itu ada 16 bank yang tidak kooperatif, bahkan tak mau menandatangani PKPS, serta tak memiliki Surat Keterangan Lunas (SKL) dari BPPN,” kata Pengamat Hukum Hasbullah dalam diskusi “Skema Penyelesaian Skandal BLBI” yang digelar bersama Front Rakyat Anti Korupsi (Fraksi) bersama sejumlah pengamat hukum lainnya, Andi Wahyu dari FH Universitas Pancasila, Supadjo dari FH UIN dan Direktur Riset Info Bank Eko B Supriyanto di Jakarta, Selasa (7/8).

Malah anehnya, kata Hasballah, kenapa KPK tidak semangat memburu para obligor tersebut, padahal jelas-jelas merugikan negara. “Kenapa yang sudah memiliki SKL malah dipermasalahkan dan terus dicari-cari kesalahannya. Padahal SKL itu kebijakan yang dikeluarkan oleh negara,” tambahnya.

Berdasarkan catatan Center For Budget Analysis (CBA) beberapa bank yang diduga tak kooperatif dan tidak mau membuat perjanjian PKPS, seperti Bank Deka, Centris, Aspac, BCD, Dewa Rutji, Arya Panduartha, Dharmala dan Orient.

Ada juga Bank-bank penerima BLBI yang menandatangani perjanjian PKPS dengan BPPN, namun tidak mau bayar dan tidak menyelesaikan kewajibannya, yakni BUN, Modern, PSP, Metropolitan, Bahari, Aken, Intan, Tata dan Servitia.

Selain itu, Bank bermasalah yang membuat PKPS dan baru bayar sebagian adalah Lautan Berlian, BIRA, Namura, Putera Multi Karsa dan Tamara.

Menyinggung soal nasib mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafrudin Tumenggung terkait SKL Syamsul Nursalim yang dimasalahkan KPK, Hasballah juga mengaku heran dengan sikap KPK langsung menetapkan tersangka yang terkesan diskriminatif.

“Inilah terkesan mau dikorbankan. Padahal sudah jelas audit BPK 2006 penerbitan SKL terhadap obligor Syamsul Nursalim, tidak ditemukan adanya kerugian negara. Bahkan BPK menyebutkan SKL layak diberikan kepada Syamsul Nursyalim, karena sudah menyelesaikan kewajibannya sesuai perjanjian MSAA,” terangnya.

Didesak kemungkinan adanya pesanan politis terhadap Syafrudin, Hasballah tak membantah soal itu. “Apalagi tidak kebijakan dari KKSK yang memerintahkan kepada Syafrudin untuk menagih dana Rp4,8 T kepada petani tambak. Itu tidak ada sama sekali. Kebijakan ini sudah diaudit BPK 2006 dan tak ada masalah. Tapi kenapa audit 2017 dipermasalah bahwa Syamsul Nursalim dianggap belum lunas,” paparnya.

Sementara itu Pakar Hukum Perdata Andi Wahyu mengatakan perjanjian MSAA yang diteken BPPN dengan para obligor guna menyelesaikan permasalahan di luar pengadilan. “Ini lebih ke arah perdata bukan pidana, karena itu sampai kapan pun negara bisa menagih utang itu kepada obligor. Tidak ada kadaluwarsanya,” ungkapnya.

MSAA itu, kata Andi Wahyu, yang paling penting uang negara yang dinikmati obligor itu bisa kembali ke negara. “Jadi bukan pidana, karena kalau pidana itu ada masa kadaluwarsanya. Sampai jangka waktu sekian maka kasus ini ditutup,” tegasnya.

Sedangkan Pakar hukum Pidana Supardji sepakat kucuran dana BLBI merupakan bagian dari upaya penyelamatan perbankan saat itu. Namun disisi lain melalui Inpres 2002 berlanjut dengan terbitnya SKL. Misteri yang paling mengemuka adalah siapa yang paling bertanggung jawab.

“Sampai saat ini yang jadi korban atau tumbal barulah Pak Syafrudin sebagai terdakwa. Seharusnya beliau tidak sendiri, karena uang begitu banyak,” tambahnya.

Oleh karena itu, lanjut Dosen FHUI, KPK sudah seharusnya melangkah ke depan, karena publik sudah menanti tindakan tegas. Maka seharusnya dituntaskan, termasuk kepada siapapun yang salah. Maka harus ada yang bertanggung jawab.

“Namun sampai persidangan akhir ini masih menyisakan pertanyaan. Kenapa orang yang mendapatkan pencairan seperti Syamsyul Nursalim dan sebagainya tidak berhasil duduk sebagai saksi di situ. Ini adalah satu persoalan yang penuh dengan tanda tanya. Ada apa sebetulnya,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan