Jakarta, Aktual.com – Nama anggota Komisi II DPR RI, Chairuman Harahap masuk ke dalam daftar saksi kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP), yang hari ini dipanggil penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tak hanya itu, dalam daftar saksi yang dipublikasikan pihak KPK juga tertera nama Sekretaris pada Direktorat Jenderak Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Drajat Wisnu Setyawan.
“Keduanya diperiksa sebagai saksi untuk tersangka IR (Irman),” jelas Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati saat dikonfirmasi, Senin (10/10).
Belum diketahui informasi apa yang akan digali penyidik melalui dua orang penyelenggara negara. Jika merujuk pada kewenangannya, Chariuman disinyalir akan dicecar seputar pembahasan proyek e-KTP di DPR. Sedangkan Drajat kemungkinan akan ditanya soal proses lelang dan pengerjaan proyek senilai lebih Rp5 triliun.
“Seorang saksi diperiksa karena diduga mengetahui, mendengar, melihat dan merasakan tindak pidana yang terjadi,” ucap Yuyuk.
Dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP, KPK telah menetapkan dua tersangka. Pertama, Irman selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) dan Sugiarto selaku Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan pada Ditjen Dukcapil Kemendagri.
Proyek e-KTP ini dikerjakan oleh lima perusahaan yang tergabung dalam konsorsium Perum PNRI. Kelima perusahaan itu yakni Perum PNRI, PT Sucofindo (Persero), PT LEN Industri (Persero), PT Quadra Solution dan PT Sandipala Arthaputra.
Pembagian tugasnya adalah PT PNRI mencetak blangko e-KTP dan personalisasi, PT Sucofindo melaksanakan tugas dan bimbingan teknis dan pendampingan teknis, PT LEN Industri mengadakan perangkan keras AFIS, PT Quadra bertugas mengadakan perangkat keras dan lunak serta PT Sandipala mencetak blanko e-KTP dan personalisasi dari PNRI.
PT Quadra menurut mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin dimasukkan menjadi salah satu peserta konsorsium, atas intervensi Dirjen Dukcapil saat itu, yakni Irman.
Menurut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan yang dilakukan pada semester I 2012, pelaksanaan tender e-KTP disimpulkan melanggar Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Pelanggaran tersebut menurut BPK berimbas kepada penghematan keuangan negara.
Dalam auditnya, BPK menemukan ketidakefektifan pemakaian anggaran sebanyak 16 kasus dengan nilai Rp6,03 miliar, tiga kasus Rp605,84 juta. Selain itu BPK juga menemukan pelanggaran dalam proses pengadaan proyek e-KTP.
Terdapat lima kasus yang diindikasikan merugikan keuangan negara senilai Rp36,41 miliar, potensi kerugian negara sebanyak tiga kasus senilai Rp28,90 miliar. Menurut hasil audit BPK juga disimpulkan bahwa konsorsium rekanan yang ditunjuk tidak dapat memenuhi jumlah pencapaian e-KTP 2011 yang telah ditetapkan dalam kontrak.
Hal tersebut terjadi karena Konsorsium PNRI tidak berupaya memenuhi jumlah penerbitan e-KTP 2011 sesuai dengan kontrak. Dalam audit BPK disebutkan juga bahwa terdapat persekongkolan yang dilakukan antara Kosorsium PT PNRI dengan Panitia Pengadaan.
“Kongkalikong” itu terjadi saat proses pelelangan, yakni penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
Diakui BPK, dalam penyusunan dan penetapan HPS bukan berdasarkan data harga pasar setempat yang diperoleh dari survei menjelang dilaksanakannya lelang. Pemilihan dan penetapan untuk beberapa peralatan menggunakan harga uang ditawarkan oleh Konsorsium PT PNRI yang memenangkan pelelangan.
Padahal, proyek pengadaan e-KTP ini membutuhkan anggaran negara sebesar Rp 5,7 triliun, dengan rincian untuk 2011 dananya sebesar Rp 2,26 triliun dan 2012 alokasi anggaraanya senilai Rp 3,5 triliun.
*Zhacky
Artikel ini ditulis oleh: