Jakarta, Aktual.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) menduga ada penyimpangan dalam pengambilan keputusan investasi Blok Basker Manta Gummy (BMG), Australia oleh Pertamina. Kejagung menduga investasi 10% saham pada Blok BMG tidak sesuai dengan pedoman, tanpa studi kelayakan yang lengkap dan tidak didasari persetujuan Dewan Komisaris Petamina. Untuk itu Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan telah dijadikan tersangka pada Maret 2018.
Atas keputusan investasi di Blok BMG, Karen dituduh telah merugikan negara sekitar Rp 568 miliar. Padahal berdasarkan hasil audit oleh BPK, Pertamina justru tidak mengalami kerugian, atau tidak ada kerugian negara pada investasi tersebut. Kejagung memperoleh angka kerugian negara berdasarkan perhitungan oleh sebuah kantor akuntan publik (KAP).
Sepanjang pengamatan kami selama menjabat sebagai Dirut Pertamina, Karen telah menunjukkan kinerja yang sangat baik. Hal ini terlihat dari berbagai prestasi yang diraih oleh Pertamina selama masa jabatannya, yaitu perolehan laba USD13,2 milyar (2013), dan raihan sebagai perusahaan peringkat ke-122 Fortune Global-500 (2013). Pertamina adalah satu-satunya perusahaan Indonesia yang pernah masuk dalam peringkat ke-122 Global-500 hingga saat ini.
IRESS juga mengapresiasi sikap Karen yang sangat menguntungkan Pertamina dan NKRI saat berlangsungnya proses perpanjangan Blok Mahakam antara 2012-2015. Karen telah bersikap sangat tegar (firm) bahwa Blok Mahakam harus dikelola oleh BUMN/Pertamina, agar manfaat maksimum dapat diperoleh oleh negara. Saat itu Karen berani berbeda sikap dengan Menteri ESDM Jero Wacik yang lebih memihak kepada Total dan Inpex untuk melanjutkan pengelolaan Blok Mahakam. Sikap Karen tersebut akhirnya disetujui Menteri ESDM Sudirman Said pada Maret 2015 yang memastikan bahwa pengelolaan Blok Mahakam diserahkan kepada Pertamina.
Dengan berbagai prestasi yang disebutkan di atas di satu sisi, dan fakta-fakta yang terungkap selama proses persidangan di sisi lain, maka menjadi tanda tanya bagi kita mengapa Karen dijadikan sebagai tersangka dalam kasus investasi Blok BMG tersebut. Kita khawatir, jangan-jangan ada motif tertentu yang menjadi latar belakang, sehingga terkesan bahwa kasus tersebut dipaksakan.
Bagi IRESS tampaknya dalam kasus ini Karen telah dikriminalisasi dan menjadi korban kedzoliman. Faktanya, bisnis di sektor migas adalah bisnis yang menjanjikan keuntungan besar, namun sekaligus juga berpotensi menimbulkan kerugian yang besar pula. Dalam bisnis migas yang digeluti Pertamina, terkandung faktor risiko yang besar. Jika kebijakan dan pengambilan keputusan oleh manajemen Pertamina atas investasi Blok BMG telah melewati proses yang berlaku umum dan sesuai dengan AD/ART perusahaan, maka risiko yang timbul setelahnya merupakan hal yang patut diterima dan dimaklumi.
Satu yang sangat penting disadari adalah bahwa kebijakan dan keputusan Karen pada hakekatnya merupakan perwujudan aksi korporasi untuk mengambil hak kelola (Participating Interest, PI) atas Lapangan atau Blok BMG. Hal ini seharusnya masuk ke dalam ranhah hukum perdata bukan pidana. Partisipasi Pertamina di sini juga dilakukan untuk dan atas nama kepentingan korporasi, bukan kepentingan pribadi.
Perbuatan pengambilalihan PI di atas merupakan keinginan perseroan dalam rangka meningkatkan cadangan dan produksi minyak mentah yang sejalan dengan Rencana Kegiatan dan Anggaran Perusahaan (RKAP) Tahun 2009. Sebagaimana di ketahui, Perseroan diwajibkan untuk menjamin kelancaran pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional. Artinya, perbuatan tersebut adalah dalam rangka penugasan Pemerintah untuk mengamankan pasokan BBM Nasional, dan merupakan bisnis murni sebagai pelaksanaan prinsip fiduciary duty jajaran direksi.
Selain itu, keputusan untuk mengambil alih PI tersebut merupakan pelaksanaan doktrin atau prinsip Business Judgement Rule (BJR) dalam UU Perseroan Terbatas. Prinsip ini merupakan cermin kemandirian dan diskresi dari direksi perseroan dalam memberikan putusan bisnisnya yang sekaligus merupakan perlindungan bagi direksi dalam menjalankan tugas-tugasnya. Perlu diketahui ketentuan Pasal Pasal 92 dan Pasal 97 UU No. 40/2007 tentang PT terkait dengan BJR, pada intinya mengatur bahwa direksi tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya hanya karena alasan salah dalam memutuskan (mere error of judgement), atau hanya karena alasan kerugian perseroan.
Terkait dengan unsur kerugian negara, pada dasarnya kalkulasi kerugian yang didasarkan pada Laporan Perhitungan Keuangan Negara dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs. Soewarno, Ak. No. 032/LAI/PPD/KAP.SW/XII/2017, tanggal 6 Desember 2017, sebenarnya tidak pernah menyatakan sebagai laporan perhitungan keuangan negara.
Secara yuridis, kewenangan untuk menyatakan kerugian keuangan Negara sesuai Undang-Undang No.15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU No.15/2004), Pasal 2 ayat (2) juncto Pasal 3 ayat (1) dan (2) adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan. Pemeriksaan terhadap pengelolaan keuangan negara juga harus menggunakan standar pemeriksaan yang disusun oleh BPK.
Dalam butir 6 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4/2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hukum Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan juga diatur bahwa instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK yang memiliki kewenangan konstitusional.
Sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Kantor Akuntan Publik tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara, namun tidak berwenang menyatakan adanya kerugian keuangan negara.
Faktanya, hingga saat ini BPK belum pernah mengeluarkan pernyataan bahwa dalam investasi Pertamina berupa PI di Blok BMG telah menimbulkan adanya kerugian negara. Bahkan di dalam hasil laporan auditnya, BPK menyatakan tidak ada temuan alias tidak menyatakan adanya kerugian keuangan negara di dalam investasi tersebut. Dengan demikian, surat dakwaan yang hanya mempertimbangkan laporan dari KAP dan mengesampingkan laporan hasil audit dari BPK, merupakan suatu dakwaan yang tidak cermat dan harus ditolak.
Harapannya pengadilan sesat tidak terjadi pada kasus Blok BMG ini. Tidak sepatunya Karen yang telah menunjukkan prestasi tinggi, dan berjasa pula menjadikan Pertamina sebagai perusahaan yang sangat menguntungkan negara selama periode kepemimpinannya, justru harus dipenjara. IRESS menganggap kriminalisasi risiko korporasi dalam Akuisisi Blok BMG Australia 2009 adalah langkah mundur terhadap penegakan hukum Indonesia.
By: Marwan Batubara
Indonesian Resources Studies, IRESS
Disampaikan pada FGD, Paradoks BUMN, 8 Mei 2019, Hotel Ashley, Jakarta.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan