Berikut beberapa cuitan mereka:
Modus pertama adalah dengan penunjukan langsung PT. Jasindo (BUMN) untuk menjamin seluruh asuransi di BP Migas & rekanannya. Kemudian oleh Jasindo, penutupan asuransi BP Migas ini direkayasa seolah-olah penutupan via broker. Karena dicatat sebagai penutupan via broker, maka PT. Jasindo harus keluarkan biaya komisi 15-20% dari premi atau 150-200 M ke “broker”. Padahal pembayaran komisi ke “broker” itu adalah fiktif. Uang komisi 150-200 miliar itu yang dibagi-bagi ke oknum-oknum Jasindo dan BP Migas.
Modus Kedua : ada komisi reasuransi yang diterima Jasindo dari perusahaan reasuransi. Ini juga direkayasa. Komisi reasuransi yang seharusnya diterima PT. Jasindo misalkan 30-40%, dimanipulatif menjadi 20-30% saja. Sisanya? Sisa atau kelebihan premi asuransi yang seharusnya untuk BUMN jasindo masuk kantong oknum-oknum BP Migas dan Jasindo, sekitar 100 M per tahun.
Modus ketiga : klaim-klaim KKKS dan sub kontrak BP Migas tidak dibayarkan. Banyak yang ditolak dengan berbagai alasan. Akibatnya, KKKS dan sub kontraknya menuntut ganti rugi kepada pemerintah RI. Ratusan milyar setiap tahun harus dibayar negara dari APBN!
Mereka juga menyebut kalau premi asuransi Jasindo bernilai Rp1 Triliun per tahun, terdiri dari 600 Milyar premi existing dan 400 M premi kegiatan exploitasi dan explrorasi.
Langgar Konstitusi
Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Andalas, Feri Amsari menyebutkan lamanya penanganan kasus Jasindo bukan kali pertama dilakukan oleh KPK. Namun berbeda dengan kasus yang lain, penanganan kasus Jasindo disebutnya lebih buruk lantaran sudah adanya tersangka, yaitu Bud Tjahjono.
Seyogyanya, penetapan tersangka dikatakan Feri harus diikuti oleh kepastian hukum dalam penanganan sebuah kasus. Hal ini, jelasnya, untuk menghormati hak asasi dari seseorang yang menjadi tersangka.
“KPK harusnya merespon kasus yang sudah lama dengan mempertimbangkan asas kepastian hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia yang dikaitkan dengan soal bagaimana dia ditetapkan sebagai tersangka,” jelas Feri ketika dihubungi Aktual, Minggu (18/2).
Dari penelusuran Aktual, setidaknya ada enam kasus korupsi yang tengah mandek penyidikannya di KPK, termasuk kasus Jasindo. Lima kasus lainnya adalah kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Tubagus Chaeri Wardana, kasus korupsi eks Dirut Pelindo II RJ Lino, kasus TPPU Rohadi, kasus suap eks bos Lippo Group dan kasus suap eks Dirut Garuda Indonesia Emirsyah Satar.
Menurut Feri, sebaiknya KPK memiliki skala prioritas sehingga tidak menumpuk banyak kasus yang berujung pada terbengkalainya kasus-kasus tersebut. KPK, lanjutnya, harus buka-bukaan terhadap kasus yang ditanganinya.
Jika memang terdapat hambatan dalam penyidikan, misalnya, atau bahkan jika tidak tercukupinya bukti yang digunakan untuk melanjutkan penyidikan, harus diakui kepada publik, sehingga dapat menghindari ketidakpastian hukum.
“Menetapkan orang jadi tersangka itu kan ada pertanggungjawabannnya sebagai aparat, jadi jangan sampai ditetapkan sebagai tersangka lalu dia (penegak hukum) abai,” tegas Feri.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby