Perilaku suap, tak terlepas dari rumit dan banyaknya perizinan yang mesti diurus oleh pengembang. Dia mencontohkan mulai dari pembebasan lahan, sertifikasi tanah, sampai izin mendirikan bangunan (IMB) pun para pengembang sudah dikenakan pungli.
“Kalau Anda tidak mau menjalankan itu ya tidak bakal jalan proyeknya. Anda mau urus IMB, bayar, dan mana ada yang nggak bayar di Republik ini. Ada ketidakikhlasan dari aparat birokrasi itu untuk mempermudah tanpa mereka mendapatkan sesuatu,” pungkasnya.
Di lain kesempatan, praktisi hukum Eddy Marek menegaskan bahwa suap dan pungli yang terjadi dalam kasus properti adalah terkait masalah mentalitas. Sepanjang mentalitas belum berubah, artinya masih bekerja setengah hati, atau bekerja karena ingin mendapat imbalan tertentu di luar gaji resmi, tentunya masalah-masalah seperti perizinan yang terhambat akan terus terjadi.
Kedua tentunya perangkat hukum. Saat ini kita sudah memiliki online single submission (OSS) yang merupakan platform yang baik, yang mau tidak mau memaksa pejabat di pemerintah daerah untuk betul-betul mengikuti prosedur yang ada, karena jika tidak, keterlambatan akan dianggap menyetujui aplikasi yang disampaikan oleh pihak yang mengajukan permohonan perizinan.
“Akibat kelemahan dua hal yaitu mentalitas dan perangkat hukum, hal ini masih terus terjadi. Saya pernah mendengar salah satu pejabat pemerintah sendiri mengatakan pengembang serba salah, di satu sisi jika tidak mendekati pejabat, izinnya dipersulit atau tertunda atau diurus setengah hati, tapi di sisi lain, jika pihak pengembang terus mendekati, maka ada risiko ditangkap karena melakukan kolusi,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid