Dia menuturkan, proyek properti besar apapun sebetulnya, jika memang pengembang berfokus pada perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), sudah ada perangkat hukum yang mempermudah perizinan pengembang tersebut. Tentunya, perangkat hukum pemerintah pusat ini harus didukung oleh aturan di daerah masing-masing agar sinkron.
Aturan-aturan tersebut memangkas jenis dan jumlah perizinan yang perlu diperoleh dan juga jangka waktu yang ada. Bahkan, jika izin tidak diterbitkan, maka komplain bisa diajukan oleh pengembang sampai ke level Kementerian. Namun, jika pengembang tidak hanya fokus pada MBR, maka tetap harus mengacu pada aturan yang ada secara umum.
Hal tetap terhambat perizinan meski pengembang membangun proyek besar saya melihat alasannya lebih kepada efektivitas dan efisiensi aturan daerah dan kualitas para pejabat di pemerintah daerah. Jika aturan jelas, kualitas para pejabat ditingkatkan termasuk hal mentalitas, kedisiplinan dari pengembang juga tinggi, seharusnya hambatan itu tidak ada.
“Saya tidak mengatakan spesifik demikian. Namun, saya mendengar dari cukup banyak pengembang yang adalah klien saya, hal pungli atau pemberian kompensasi adalah hal lumrah. Hal ini telah diketahui dan dilakukan lama sekali oleh para pemangku kepentingan. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh karakter kepala daerah terkait. Jika kepala daerah bersih dan tegas, jajaran di bawahnya cenderung akan mengikuti. Saya lihat, alasan ini terjadi, kembali kepada hal mentalitas dan lemahnya perangkat hukum yang ada,” tegasnya.
OSS harapannya akan mengurangi pertemuan fisik, dan akhirnya, mengurangi atau bahkan menghilangkan urusan pungli atau pemberian kompensasi. Saya pikir itu juga yang menjadi tujuan pemerintah menerbitkan aturan OSS selain hal kemudahan dan efisiensi perizinan.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid